seperti air yang tidak pernah berhenti mengalir,angin yang tidak pernah berhenti berhembus, api yang tidak pernah berhenti berkobar, dan tanah yang tidak pernah berhenti terhampar, maka begitulah pusaran dunia yang tidak akan pernah berhenti berpusing,selalu bergerak dan dinamis.
Diskursus tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan yang kurang lebih tumbuh di kalangan Ilmuwan Muslim sejak tiga
dekade terakhir pada saat diselenggarakan sebuah Konferensi Dunia yang pertama
tentang Pendidikan Muslim di Mekkah pada tahun 1977, yang diprakarsai dan
dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University[1]
yang berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40
negara dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan dan penyempurnaan sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu
gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi Pengetahuan.
Islamisasi pengetahuan
sebenarnya adalah sebuah gagasan upaya untuk menetralisir pengaruh sains Barat
modern sekaligus menjadikan Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan yang juga
sebagai upaya membersihkan pemikiran-pemikiran Muslim dari pengaruh negatif
kaidah-kaidah berpikir ala sains modern, sehingga pemikiran Muslim benar-benar
steril dari konsep sekuler.[2]
Banyak pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan dapat digeser
dan diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam,
manakala “proyek Islamisasi Pengetahuan” benar-benar digarap secara serius dan
maksimal, sebagai tindak lanjut para pemikir Muslim harus berupaya keras
merumuskan islamisasi pengetahuan secara teoritis dan konseptual yang
didasarkan argumen rasional dan wahyu Tuhan.
Di UIN Malang, berdasarkan
penelusuran yang dilakukan oleh Ummi, menemukan beberapa versi pemahaman
tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Versi pertama; beranggapan bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai
dengan ilmu pengetahuan umum yang ada (ayatisasi). Kedua, mengatakan
bahwa Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan orangnya. Ketiga,
Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang juga diterapkan di UIN Malang
dengan mempelajari dasar metodologinya. Dan keempat, memahami Islamisasi
sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang beretika atau beradab.[3]
Teori kognitif adalah bagian
terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat
berarti dalam perkembangan psikologi belajar. Dalam perspektif psikologi
kognitif belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan behavioral yang
bersifat jasmani, meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata
dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah seorang anak yang
sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat
jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata-kata dan
menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan
pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang
ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh
otaknya.
Hal senada juga disampaikan oleh
Riyanto[1] Teori
belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses
belajar itu sendiri. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berfikir yang
sangat komplek. Menurut teori ini ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang
individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Proses ini tidak berjalan terpisah tetap mengalir, dan menyeluruh.
Pendekatan psikologi kognitif lebih
menekankan arti penting proses internal, mental manusia, tingkah laku manusia
yang tampak tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibakan proses mental,
seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
(Terinspirasi dari Prof. Gunaryo yang menyatakan bahwa aku adalah manusia, common ground)
AKU
Aku adalah manusia
Aku manusia perempuan
Aku manusia laki-laki
Kalau kalian juga manusia,
Maka,......
Jangan belenggu aku,
Jangan halangi aku
Jangan batasi aku
Jangan pasung aku
Kenapa kita tidak hidup damai berdampingan
bersama merangkai harmoni kehidupan
Setara dalam kedudukan
Seimbang dalam kebersamaan
Seirama dalam keberagaman
Senada dalam keberagamaan
Karena ,..
Aku adalah mataku
Aku adalah telingaku
Aku adalah otakku
Aku adalah mulutku
Aku adalah jiwaku
Aku adalah badanku
Aku adalah kakiku
Karena aku milik Penciptaku
Jadi biarkan aku meneguhkan eksistensiku dengan penglihatanku, pendengaranku, pikiranku, ucapanku, dalam jiwa dalam jasadku dan melangkah dalam gerak ku...
Proses pendidikan dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari peran pendidik dan peserta didik itu sendiri. Berhasil atau gagalnya pendidikan diantaranya ditentukan oleh kedua komponen tersebut. Mulai dari kemapanan ilmu pengetahuan pendidik, sampai kemampuan pendidik dalam menguasai objek pendidikan, berbagai syarat yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik, motivasi belajar peserta didik, kepribadian anak didik dan tentu saja pengetahuan awal yang dikuasai oleh peserta didik. Agar hasil yang direncanakan tercapai semaksimal mungkin. Disinilah pentingnya pengetahuan tentang subjek pendidikan.
Al-Quran sebagai pedoman hidup manusia di dalamnya menyimpan berbagai mutiara yang mahal harganya yang jika dianalisis secara mendalam sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Diantara mutiara tersebut adalah menggali ayat-ayat tentang subjek pendidikan yang terkandung dalam Al-Quran,
Untuk itu dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan sedikit tentang ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan subjek pendidikan dengan harapan dapat lebih memahami bagaimana subjek pendidikan menurut Al-Quran.
Kajian yang akan kita bahas kali ini adalah subjek pendidikan dalam Al Qur’an dengan pendekatan Tafsir Tematik yang tergelar dalam beberapa surah dan terfokus pada sebuah tema, pendekatan yang digunakan adalah maudhu’i. Secara ideal, ada 2 macam cara kerja Tafsir Maudhu’i yakni: Pertama, penafsiran yang berdasarkan surat Al Qur’an.[1] Mufassir membahas mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga wajah surat itu mirip seperti bentuk sempurna saling melengkapi.[2] Kedua, menghimpun seluruh ayat Al Qur’an yang berbicara tentang tema yang sama. Kesemuanya diletakkan di bawah satu judul, lalu ditafsirkan dengan metode maudhu’i.[3]
Namun pada pembahasan kali ini penulis bereksperimen dalam melakukan penafsiran tematik dengan acuan dasar DR. Quraish Shihab.[4] Sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan apakah pendekatan tematik yang pernah diterapkan DR.Quraish Shihab itu merupakan langkah-langkah ideal tematik, atau malah sebaliknya, tidak sesuai dengan teori ideal pendekatan tafsir tematik pada umumnya.
Terlepas dari semua itu, penulis berusaha semaksimal mungkin menyajikan makalah ini sesempurna mungkin yakni Tafsir ayat-ayat tentang Subjek pendidikan Pendekatan Tematik.
PEMBAHASAN
1.Definisi Subjek Pendidikan
Dalam interaksi pendidikan, kita sering mendengar istilah pendidik dan anak didik, guru dan murid, atau disebut juga subjek pendidikan dan objek pendidikan. Subjek pendidikan adalah pendidik atau guru, sedangkan objek pendidikan adalah anak didik atau murid. Sejalan dengan uraian diatas maka secara otomatis ketika membicarakan tentang subyek pendidikan maka kita akan membahas tentang pendidik atau guru.
Pendidik atau guru adalah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik[5] perkembangan yang dimaksudkan adalah perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan, mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT dan mampu melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang mandiri.[6]
Pendidik pertama dan utama adalah orang tua (ayah dan ibu). Mereka berdua yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak kandungnya. Tanggung jawab itu disebabkan sekurang-kurangnya oleh dua hal; pertama karena kodrat, yaitu karena orang tua ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia ditakdirkan pula bertanggungjawab mendidik anaknya; kedua karena kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, sukses anaknya adalah sukses orang tua juga. Pendidik dan penanggung jawab pertama dan utama adalah orang tua terdapat dalam Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. (QS. Al Tahrim : 6)
“Dirimu” yang disebut dalam ayat itu adalah diri orang tua anak tersebut, yaitu ayah dan ibu; “ anggota keluarga” dalam ayat ini ialah terutama anak-anaknya.
Namun pada kenyataannya orang tua tidak selamanya memiliki waktu yang leluasa dalam mendidik anaknya, selain karena kesibukan kerja, tingkat efektivitas dan efisiensi pendidikan tidak akan baik jika pendidikan hanya dikelola secara alamiah yakni di rumah saja, dalam konteks ini lazimnya anak dimasukkan ke lembaga pendidikan. Dan tugas mendidik secara otomatis dilimpahkan ke orang lain yang seringkali kita sebut dengan guru, dosen, ustadz[7] dalam pendidikan Islam sering disebut dengan murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid.[8]
79. Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
[208] Rabbani ialah orang yang Sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah s.w.t.
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani”artinya akan tetapi diperbolehkan bagi seorang nabi mengatakan kepada orang-orang, ‘hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani. Ada yang berpendapat bahwa ayat ini ditujukan kepada kaum Nasrani Najran. Demikian pula diriwayatkan bahwa seluruh ayat dalam surah ini sampai firmanNya yang berbunyi,”waidz ghadawta min ahlika” asbabun nuzulnya adalah kaum Nasrani Najran.[9] Kata Rabani artinya yang mendidik orang-orang dengan mengajarkan ilmu yang kecil sebelum yang besar.[10] Sedangkan Abu Razin mengatakan bahwa Rabbani adalah orang yang berilmu dan bijaksana.[11] Rabbani adalah orang yang memiliki ilmu mengenai Agama Allah dan mengamalkannya, karena setiap pendidik itu mengetahui suatu ilmu Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.dan tidak semua orang yang mengetahui itu disebut sebagai pendidik.[12]
18. Fir'aun menjawab: "Bukankah kami Telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu[1078].
[1078] nabi Musa a.s. tinggal bersama Fir'aun kurang lebih 18 tahun, sejakkecil.
Ayat ini menunjukkan pengasuhan dan pendidikan Fir’aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil, yang mana pengasuhan itu hanya sebatas pada domain jasmani tanpa melibatkan domain rohani. Subjek pendidikan pada surat ini adalah Fir’aun kepada Musa, tetapi interaksi yang terjadi hanya sebatas pendidikan jasmani.
24. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua Telah mendidik Aku waktu kecil".
Ayat ini menunjukkan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya yang tidak saja mendidik pada domai jasmani, tapi juga domain rohani. Pada ayat ini subjek pendidikan yang dimaksudkan adlaah orang tua.