aktivitas

seperti air yang tidak pernah berhenti mengalir,angin yang tidak pernah berhenti berhembus, api yang tidak pernah berhenti berkobar, dan tanah yang tidak pernah berhenti terhampar, maka begitulah pusaran dunia yang tidak akan pernah berhenti berpusing,selalu bergerak dan dinamis.

Tuesday, October 1, 2013

ISLAMISASI SAINS : STUDI KRITIS PEMIKIRAN ISMAIL R. AL FARUQI



PENDAHULUAN

Diskursus tentang Islamisasi ilmu pengetahuan yang kurang lebih tumbuh di kalangan Ilmuwan Muslim sejak tiga dekade terakhir pada saat diselenggarakan sebuah Konferensi Dunia yang pertama tentang Pendidikan Muslim di Mekkah pada tahun 1977, yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University[1] yang berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40 negara dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan dan penyempurnaan sistem pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi Pengetahuan.
Islamisasi pengetahuan sebenarnya adalah sebuah gagasan upaya untuk menetralisir pengaruh sains Barat modern sekaligus menjadikan Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan yang juga sebagai upaya membersihkan pemikiran-pemikiran Muslim dari pengaruh negatif kaidah-kaidah berpikir ala sains modern, sehingga pemikiran Muslim benar-benar steril dari konsep sekuler.[2] Banyak pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan dapat digeser dan diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam, manakala “proyek Islamisasi Pengetahuan” benar-benar digarap secara serius dan maksimal, sebagai tindak lanjut para pemikir Muslim harus berupaya keras merumuskan islamisasi pengetahuan secara teoritis dan konseptual yang didasarkan argumen rasional dan wahyu Tuhan.
Di UIN Malang, berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh Ummi, menemukan beberapa versi pemahaman tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Versi pertama; beranggapan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai dengan ilmu pengetahuan umum yang ada (ayatisasi). Kedua, mengatakan bahwa Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan orangnya. Ketiga, Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang juga diterapkan di UIN Malang dengan mempelajari dasar metodologinya. Dan keempat, memahami Islamisasi sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang beretika atau beradab.[3]

Islamisasi pengetahuan mempunyai beberapa fungsi yakni; sebagai penyelamat terhadap umat Islam, khususnya dari penyelewengan-penyelewengan penerapan Sains Barat, sebagai pemberi alternatif tentang cara-cara memperoleh pengetahuan secara dinamis, mencerminkan nilai-nilai ketakwaan, kreatif, dan produktif yang disebut dengan epistimologi Islam. Kedua fungsi tersebut bisa terwujud bila mempu menciptakan islamisasi pengetahuan yang didasarkan dan dijalankan atas sebuah komitmen menyelamatkan sekaligus menyempurnakan kondisi umat Islam. Bila tidak, maka islamisasi hanya akan terwujud dalam sebuah slogan-slogan Islam saja dan tidak berfungsi apa-apa. Islamisasi juga berfungsi menghindarkan sikap latah dengan meniru sistem Barat. Sikap meniru tersebut sangat berbahaya, jika meniru dengan membabi buta tanpa membangun infrastruktur konseptual kita sendiri yang kukuh maka secara tidak langsung kita malah menjadi sehabat dan pendukung pemberontak-pemberontak intelektual Barat yang telah berusaha mencemarkan apa yang mereka sebut dengan ‘religius’, maka upaya Islamisasi harus dilakukan secara menyeluruh, total menyentuh akar yang paling pokok.
Usaha islamisasi pengetahuan ini sangat berat dan membutuhkan konsentrasi yang besar, belum lagi adanya perdebatan pro dan kontra[4]  dalam menyikapi isu ini.
 Pihak yang pro berargumentasi, bahwa 1) Umat Islam membutuhkan sebuah sistem sains untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka baik material maupun spiritual. Sedangkan sistem sains yang ada kini belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, karena masih banyak nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam, 2). Kenyataan membuktikan bahwa sains modern telah menimbulkan amcaman-ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan umat manusia dan lingkungannya; dan, 3) Umat islam pernah memiliki suatu peradaban Islami, yaitu sains berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan umat, sehingga untuk menciptakan kembali sains Islam dalam peradaban yang Islami perlu dilakukan Islamisasi Sains.
Pihak yang Kontra berargumen bahwa dilihat dari segi historis perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat saat ini banyak diilhami oleh para ulama Islam yang ditransformasikan terutama pada “masa keemasan Ialam”, sehingga mereka banyak berhutang budi terhadap ilmuwan Muslim. Karena itu, jika kita hendak meraih kemajuan di bidang iptek, maka kita perlu transformasi besar-besaran dari Barat tanpa ada rasa curiga, walaupun harus selalu waspada, Iptek adalah netral, ia bergantung kepada pembawa dan pengembangnya. Karena itulah Islamisasi ilmu pengetahuan adalah tidak begitu penting, tetapi yang lebih penting adalah justru Islamisasi subjek atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri.
Para pemikir seperti An Naquib Al Attas, Ismail Raji Al Faruqi, Ziauddin Sardar, merupakan pelopor “proyek Islamisasi pengetahuan”, meskipun konsep-konsep operasional yang ditawarkan berbeda. Kemudian para pemikir, seperti Mohammed Arkoun dan Aziz Al Azmeh menentangnya. Sedangkan Fazlur Rahman tidak jelas kecenderungannnya. Dia cenderung menolak dari satu sisi, tetapi di sisi lain dia memberikan saran-saran tentang cara melakukan islamisasi pengetahuan.[5] Mereka memiliki alasan tersendiri untuk mempertahankan argumen masing-masing.
Dengan berbagai pandangan dan pemaknaan yang muncul secara beragam ini perlu kiranya untuk diungkap dan agar lebih dipahami apa yang dimaksud “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”
            Terlepas dari pro dan kontra diatas dan adanya berbagai pandangan dan keberagaman pemaknaan yang muncul tentang islamisasi ilmu pengetahuan, maka  pada makalah ini penulis mencoba mengupas lebih detail tentang konsep pemikiran Ismail Raji Al Faruqi sebagai salah satu Tokoh pelopor Islamisasi Pengetahuan yang getol menawarkan konsep Islamisasi pengetahuan dan yang sekaligus menolak klaim ilmu-ilmu sosial Barat yang bersifat ilmiah dan obyektif karena pendekatannya yang bebas nilai (value free). Karena menurutnya ilmu pengetahuan Barat. Khususnya ilmu sosial, akan bias pada nilai Barat yang dihayatinya. Karena itu, yang menentukan adalah orang, manusia penghayat ilmu itu. Penghayatan nilai ilmuwan itu yang menentukan apakah ilmunya berorientasi pada Islam ataukah non Islam.
PEMBAHASAN
1.      RIWAYAT HIDUP
Ismail Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara  luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme.[6] Memulai studi di College des Freres Libanon, yang menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dengan gelar Bachelor of Arts (BA) dalam bidang filsafat ia peroleh dari universitas tesebut pada usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah Galelia pada usia 24 tahun, namun jabatan itu tidak lama karena pada tahun 1947 jatuh ke tangan Israel.
Pada tahun berikutnya Al-Faruqi memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang sempat terhenti. Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada tahun 1948, hingga mencapai gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun berikutnya ia kembali memperoleh gelar master di Harvard University, juga dalam bidang falsafat. Puncaknya, tahun 1952, Faruqi meraih gelar Ph.D dari Universitas Indiana, dengan disertasi berjudul On Justfying the God;Metaphic and Epistemology of Value (tentang Pembenaran Tuhan, Metafisika, dan Epistemologi Nilai).
Untuk memperdalam keislaman, empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir. Beberapa tahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi keislaman di McGill University (1958-1961) seraya mempelajari Yudaisme dan Kristen secara intensif dan di Pana Central institute of Islamic Research, Karachi, Pakistan untuk ambil bagian dalam kegiatan Central Institute for Islamic Research (CIIR) dan jurnalnya, Islamic Studies. Dua tahun di Pakistan, tahun 1963, Faruqi kembali ke Amerika dan mengajar di School of Devinity, Universitas Chicago untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama, sambil melakukan kajian keislaman di Saracus University New York (1964-1968)  dan sebagai lektor kepala llmu agama. Selanjutnya pada tahun 1968, Faruqi pindah dan menjadi guru besar Pemikiran dan Kebudayaan Islam pada Temple University, Philadelpia. Disini Faruqi mendirikan Islamic Studies sekaligus memimpinnya sampai akhir hayatnya, 27 Mei 1986.[7]
Di samping kontribusinya yang besar dalam memperkenalkan studi-studi keislaman di berbagai perguruan tinggi di Amerika dan proyeknya yang terkenal, ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’, Faruqi juga aktif dalam gerakan-gerakan keislaman dan keagamaan. Bersama istrinya, Dr. Lousi Lamya, ia membentuk kelompok-kelompok kajian Islam, seperti Muslem Student Association (MSA), American Academy of Religion (AAR), mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Association of Muslem Social Scientist-AMSS), the International Institute of Islamic Thought (IIIT),  Islamic Society of North America (ISNA), dan menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Science (AJISS).[8]
Pada masa hayatnya, Al-Faruqi pernah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuan. Diantaranya adalah kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam di University Chicago; Direktur Institut Intemasional pemikir Islam do Washington; dan presiden Institut studi Lanjutan Washington.[9]
 Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978. Al-Faruqi juga berperan penting dalam pembentukan lembaga Internasional (The Intemasional Institute if Islamic Thought). Kedua lembaga tersebut secara bersama-sama menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Social Sciences.
Selain itu, Faruqi juga duduk sebagai penasehat serta ikut mendesain program studi Islam di berbagai Universiytas di dunia Islam, antara lain, Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Saudi Arabia dan Mesir. Juga di tempat-tempat isolatif seperti di Universitas Mindanao, Philipina Selatan, dan Universitas Qum, Teheran Iran.[10] s
Tetapi sangat disayangkan aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan peristiwa yang sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986 bersama istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh orang yang tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu berkaitan erat dengan kecamannya terhadap zionisme Israel serta dukungannya kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya. Di lain pihak ada kelompok menilai bahwa kematian Al-Faruqi adalah salah satu korban dari teori 19, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kahlifah antara lain menulis:
"Ismail AI-Faruqi telah mencurahkan hidupnya untuk melawan Tuhan, Nabiulah Muhammad SA W dan mukjizat Tuhan yang datang pada kita melalui Muhammad, setelah sepuluh tahun menolak untuk menyokong kebenaran dan mendukung "mukjizat matematika" AI-Qur'an akhirnya Al- Faruqi menerima hukum dan balasannya, ini keputusan Tuhan bukan keputusan kita, di hari kemudian nanti dia akan menerima hukuman yang jauh lebih butut dan abadi”[11]
Tampaknya, apa yang dikemukakan oleh kelompok 19 ini hanyalah suatu sikap yang bemada emosional belaka, karena berkenaan dengan penolakan Al-Faruqi terhadap ide yang mereka kemukakan.



2.      KARYA Al FARUQI

Al.-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil menulis lebih dua puluh buku dan seratus artikel yang mencakup berbagai persoalan, antara lain etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika dan politik. Diantara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid :its Imlications for Thought and file (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan lebih dari itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik tolak pemikiran Al- Faruqi yang berplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang lain. Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), walaupun ukurannya sangat sederhana, namun menampilkan pikiran yang cemerlang dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu pengetahuan, didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam proses islamisasi tersebut.
Karyanya yang berhubungan dengan ilmu perbandingan agama cukup banyak, hal ini dapat dimaklumi karena ia sendiri adalah orang yang ahli dalam perbandingan agama. Walaupun ia diargumentasikan tak cukup "sukses" sebagai ahli perbandingan agama. Berbagai karya dalam bidang ini menunjukkan ia kelewat "terbakar" oleh Islam untuk mengaprisiasikan agama-agama lain. Ia lebih mengambil posisi sebagai pendebat dan missionaris teguh yang membela dan mendakwakan Islam. Bukunya yang secara khusus membahas perbandingan agama adalah Cristian Ethics, Triolouge of Abraham Faits pada buku ini terdapat tiga topik utama: Tiga agama saling memandang. Konsep tiga agama tentang negara dan bangsa, konsep tiga agama tentang keadilan dan perdamaian, masing-masing penyumbang dari Yahudi, Kristen dan Islam menawarkan prespektif yang jelas mengenai pokok persoalan berdasarkan tiga topik utama tersebut. Buku ini merupakan sebuah langkah baru perbandingan agama yang dapat membuka jalan bagi pemikiran an diskusi masa depan, serta buku Historical Atlas of the Region of the World.
Dan karyanya yang dianggap monumental adalah Cultural Atlas Islam, karya ini ditulis bersama istrinya, Louis lamiya AI-Faruqi, dan diterbitkan tak lama setelah keduanya meninggal. Tulisan-tulisannya yang lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961); Particularisme in the Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of arabe States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969) (AI-Faruqi, 1975:XI), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

3.      PEMIKIRAN AL FARUQI

a.       Latar Belakang Islamisasi
Al Faruqi mengungkapkan alasan yang melatarbelakangi pemikirannya tentang perlunya islamisasi. Dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini hampir di semua segi –baik politik, ekonomi, budaya, maupun pendidikan- berada dalam keadaan yang lemah. Al Faruqi menyebut hal ini sebagai malaise yang dihadapi umat.[12]
Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya dipertahankan.[13] Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah.[14]
Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi. Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan Hadis. Sebab berbagai pandangan dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.[15]
Persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.[16] Gejala tersebut dirasakan al-Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus diperjuangkan sampai berhasil.[17]
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh, yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama.
Dari fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya, umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Menurut al-Faruqi, sebagai efek dari “malaisme” mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat hanya bisa diobati dengan injeksi epistemologi. Oleh karena itu tugas utama umat Islam adalah harus segera memecahkan problem pendidikan :
“tidak dapat diharapkan adanya kebangkitan kembali umat jika sistem pendidikannya tidak diubah dan beberapa kesalahannya tidak dikoreksi. Yang diperlukan saat ini adalah pembaharuan sistem pendidikan. Dualisme sistem pendidikan muslim yang ada sekarang, bifurifikasi (pencabang-duaan)-nya menjadi sistem Islam dan sistem sekuler harus dihapuskan. Kedua sistem itu harus digabungkan dan diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diinfus dengan spirit Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari program ideologisnya”[18]
 Proses westernisasi pasca penjajahan Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Akibatnya umat Islam dewasa ini menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.[19]
 Dari situlah kemudian al-Faruqi berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.[20]

b.      Pengertian Islamisasi Menurut Al Faruqi
Secara umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam[21] atau membuatnya dan menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal, tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai Islamisasi.
Menurut Ismail R. al-Faruqi, menyebut istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan dengan Islamization of Knowledge (IOK), dalam Bahasa Arab disebut dengan Islamiyyatul Ma’rifah[22] yang bermakna segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi Islam) mesti ‘di-Islamkan’. Namun istilah ini banyak ditentang-terutama oleh Al Attas karena mengandung arti semua ilmu, termasuk ilmu-ilmu agama juga harus di Islamkan.
Tentang pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[23]
Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan pada tauhid.[24]
Dari penjabaran diatas, disimpulkan bahwa Al Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cita-cita.

c.       Prinsip dasar Islamisasi
Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Faruqi meletakkan pondasi epistemologinya islamisasi ilmunya pada prinsip tauhid yang terdiri dari lima macam kesatuan,[25] Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1). Keesaan Allah.
Bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, yang meniptakan dan memelihara semesta. Implikasinya, dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari realitas Absolut (Tuhan), melainkan melihatnya sebagai bagian yang integral dari eksistensi Tuhan. Karena itu, Islamisasi ilmu mengarahkan pengetahuan pada kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan realitas yang dikaji dengan hukum Tuhan (divine pattern).[26]

. 2). Kesatuan alam semesta.
Bahwa semesta ini baik yang material, psikis, spasial (ruang), biologis, sosial, maupun estetis, adalah kesatuan yang integral. Masing-masing saling kait dan saling menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah) untuk mencapai tujuan akhir tertinggi, Tuhan. Namun. Bersamaan dengan itu, dia juga menundukkan alam semesta untuk manusia, sehingga mereka bisa mengubah polanya dan mendayagunakannya demi kesejahteraan umat.[27] Kaitannya dengan islamisai ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuwan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepada Nya. Ini berebda dengan prinsip keilmuan Barat, dimana sejak abad 15, mereka sudah tidak berterima kasih pada Tuhan melainkan hanya pada dirinya sendiri. Mereka telah memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologis dan agama.[28]
3)  Kesatuan Kebenaran dan Kesatuan Pengetahuan.
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.[29]

4) Kesatuan Hidup
Kehendak Tuhan terdiri atas dua macam. Pertama berupa hukum alam (sunnah Allah) dengan segala regularitasnya yang memungkinkan diteliti dan diamati, materi, Kedua berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan seiring, senada, seirama dalam kepribadian muslim. Konsekuensinya, tidak ada pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.[30]
5) Kesatuan Umat Manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi, ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para ilmuan.[31]

d.      Tujuan dan Langkah-langkah Islamisasi
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.[32]  Rencana kerja al-Faruqi untuk program islamisasi mempunyai lima tujuan yaitu: pertama, menguasai disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.[33]   
 Menurut al-Faruqi, tujuan di atas bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, Penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua, Peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, Penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, Penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi ini, kata al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu: a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam, Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, Survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh, Analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan keduabelas, Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
Selain langkah tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.[34]
Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu pengetahuan. Dari kesemua langkah yang diajukannya ini, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra dan kerja sama berbagai belah pihak. Karena, islamisasi merupakan proyek besar jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka dibutuhkan usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin keilmuan yang digeluti oleh seluruh cendekiawan muslim.

Jadi dari semua uraian di atas, program islamisasi sains al Faruqi secara garis besarnya dapat dilihat dalam skema berikut:


Penguasaan terhadap disiplin-disiplin ilmu modern


Survey disipliner


Penilaian atas disiplin-disiplim modern


Survey masalah umat


Menentukan relevansi Islam untuk disiplin-disiplin ilmu


Analisis dan Sintesis


Penguasaan terhadap khasanah Islam


Analisis terhadap khasanah Islam


Penilaian terhadap khasanah Islam


Perumusan kembali disiplin-disiplin buku-buku teks


Survei masalah umat


Penyebaran sains yang sudah di Islamisasikan

                                                                          


Penjelasan:
Menurut Al Faruqi, inti semua perkembangan destruktif sains modern berada dalam metode induktif ilmu alam. Data ilmu alam yang seharusnya dapat diamati oleh pikiran sehat, terpisah satu sama lain dan dapat diukur berdasarkan pikiran sehat, sekarang data itu “mati”, dalam pengertian bahwa ia terbebas dari disposisi pengamatan. Data mencerminkan gambaran dan perilaku yang sama sepanjang waktu selama kondisi data tersebut tidak berubah dan selama faktor subyektif si pengamat tidak campur tangan  dalam ilmu pengetahuan tiada prinsip yang keramat dan segala sesuatu dapat dipersoalkan. Bukti eksperimen adalah dasar buat hipotesi yang tetap shahih sepanjang tidak terdapat eksperimen lain yang menyangkalnya. Hipotesis merupakan hukum alam ketika eksperimen dan pengamatan berulang-ulang memperkuat kesahihannya. Hal ini memungkinkan dan perekayasaan.[35]

4.      KRITIK  TENTANG KONSEP ISLAMISASI ILMU PEMIKIRAN AL FARUQI
Komentar Pertama: Ide Islamisasi yang diusung oleh Al Faruqi dalam risalahnya The Islamization of Knowledge, adalah sebuah realisasi tentang pentingnya islamisasi ilmu pengetahuan yang muncul secara mendadak. Thaha Jabir Al Alwani yang kemudian menjadi Presiden IIIT (International Institute of Islamic Thought), sesudah wafatnya Al Faruqi, memberikan penilaian singkat mengenai sumbangan Al Faruqi terhadap islamisasi ilmu pengetahuan, dia menulis ;
“Motif ini menimbulkan emosi yang kuat dalam dirinya, sebab sebelumnya, emosinya telah terbagi-bagi ke dalam pelbagai alasan. Tiba-tiba, dia mencurahkan pikirannya pada motif yang satu ini:islamisasi ilmu pengetahuan. Ide ini menguasai kehidupan dan aktivitasnya, sebab dia berpikir, berdiskusi, dan merencanakannya dengan saudara-saudaranya bagaimana merealisasikannya dan bagaimana memobilisasi masyarakat dan narasumber untuk hal itu.[36]
Datangnya saat-saat kreatif secara tiba-tiba adalah alami, artinya ia tidak direncanakan sendiri oleh para pemikir atau ilmuwan. Saat-saat seperti ini tentunya muncul dari Atas, yaitu pemberian Tuhan. Dalam terminologi Al Attas, hal ini disebut saat-saat konvergensi, yakni ketika jiwa mencapai makna sesuatu, ketika makna itu telah sampai ke dalam jiwa. Hal ini biasanya terjadi setelah beberapa lama mencari dan berkontemplasi mengenai suatu problem. Namun, menurut Wan Mohd Nor Wan Daud dalam kasus Al Faruqi ini, sebenarnya Faruqi tidak mencurahkan pikirannya untuk motif ini secara mendadak. Hal ini disebabkan pemikirannya dapat ditelusuri dari perkenalannya secara langsung dengan ide-ide Al Attas melalui pelbagai diskusi dan bacaan aktual makalah-makalah Al Attas yang membahas masalah kebingungan pemikiran umat Islam karena sekularisasi, westernisasi, dan keterputusan mereka dari khazanahnya sendiri. Kenyataan akan pentingnya ide dan agenda islamisasi ilmu pengetahuan masa kini dan modern itu diakui sebanyak tiga kali oleh Al Faruqi sendiri.[37]
Diceritakan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud bahwa Al Attas dan Al Faruqi, keduanya bersahabat dan sering mendiskusikan pelbagai masalah penting mengenai masalah-masalah umat Islam dan solusinya. Persahabatan keduanya dapat ditelusuri dari awal 1960-an. Sebagai pendiri Direktur IBKKM (Institut Bahasa, Kesusatraan, dan Kebudayaan Melayu) pada Universitas Kebangsaan Malaysia, pada 1974, Al Attas mengundang Al Faruqi ke Malaysia untuk menyampaikan bbeberapa seri kuliah dan memeprkenalkannya dengan para intelektual dan aktifis Muslim setempat, seperti Tokoh-tokoh ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). Pada saat itulah Al Faruqi mendengar pertama kali dari Al Attas mengenai proyek islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yang pada saat itu, Al Faruqi belum menyadari elemen-elemen dan implikasi konseptualnya. Hal ini terjadi acara makan malam di kediaman Presiden ABIM Anwar Ibrahim yang dihadiri oleh anggota-anggota senior ABIM. Setelah itu, Al Attas diundang ke Temple University di Philadelphia sebagai Visiting Professor dalam bidang kajian Islam (tempat Al Faruqi mengajar). Diskusi-diskusi yang dilakukan Al Attas dengan Al Faruqi di Malaysia dan Philadelphia telah mempengaruhi kegiatan kegiatan intelektual Al Faruqi secara positif dan mendasar, khususnya dalam AMSS (Association of Muslim Social Scientist). Oleh karena itu, Al Faruqi sebagai Presiden AMSS mengundang Al Attas untuk menjadi salah seorang pembicara utama pada simposium mengenai “Islam dan Pembangunan”dalam rangka Pertemuan Tahunan Kelima asosiasi tersebut, diadakan di Philadelphia pada 22-24 April 1976. Hanya selang seminggu, Al Faruqi menulis surat kepada Al Attas untuk mengucapkan terima kasih atas sumbangannya dalam simposium dan asosiasi itu :

Rekan-rekan Anda, Anggota Dewan Eksekutif dan sejumlah sahabat Muslim yang dimintai komentar mengenai presentasi Anda pada pertemuan itu-semuanya bangga dengan Anda.....Anda adalah AMSS. Presentasi Anda, yaitu stimulasi mengenai berpikir islami dan kontribusi Anda terhadap warisan pemikiran adalah raison d’etre dan tujuannya. Saya berharap pemahaman ini dapat Anda realisasikan secara brilian seperti yang telah Anda presentasikan di hadapan Dewan Eksekutif AMSS pada lima tahun terakhir......

Bukti lain adalah adanya beberapa istilah dan konsep dalam tulisan-tulisan Al Faruqi yang sejak awal sudah digunakan Al Attas secara konsisten, hal ini jelas menunjukkan bahwa Al Faruqi telah membaca dan terpengaruh oleh istilah-istilah dan konsep-konsep kunci Al Attas serta Implikasinya[38] bahkan Al Faruqi menganggap Al Attas sebagai Bapak Intelektualnya.
Kemudian dalam kaitannya dalam memberikan kontribusi yang ekstensif mengenai ide Islamisasi yang dia usung, timbul pertanyaan ‘Sudahkah Al Faruqi dan pendukungnya mengakui dengan benar sumber ide mereka dengan menyebut nama dan tulisan tertentu, yaitu Al Attas, seperti yang telah diungkapkannya kepada mereka dalam bentuk presentasi dan tulisan-tulisan, seperti yang biasa dilakukan semua penulis yang serius dalam karya-karya penting mereka. Sementara itu Al Attas, yang menyadari bahwa beberapa ide utamanya telah diambil tanpa pengakuan yang sewajarnya, menulis :
Terlepas dari kewajiban moral, tujuan mengakui sumber asal suatu ide yang penting adalah menunjukkan kepada mereka yang menekuni subjek itu agar mengetahui arah yang benar demi kepentingan masyarakat; sehu seingga mereka tidak akan salah dalam memahami nilai dan validitas dari ide itu serta dalam pengembangan dan penjelasannya lebih lanjut sesuai dengan alur pemikiran yang terdapat di dalamnya. Kesemuanya itu hanya dapat dilakukan dengan benar oleh sumber aslinya. Namun, jika para penulis Muslim, baik dalam Bahasa Inggris, Arab, maupun bahasa lain, terbiasa mengklaim ide-ide penting orang lain sebagai ide mereka sendiri atau sebagai ide orang lain bukan pemilik asal ide itu, sesungguhnya mereka sama dengan menghancurkan sumber yang asli dan menghilangkan pengetahuan Masyarakat dari arah yang benar.[39]
Komentar Kedua: tentang konsep Islamisasi Faruqi; S.A. Ashraf melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.” Pada fikirannya, kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan yang sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan prinsip yang dinukil dari al-Quran dan al-Sunnah.[40]
Komentar ketiga: Dalam pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi bukan saja sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.[41]
Komentar keempat: Kritik lainnya dilakukan oleh Ziauddin Sardar, pemikir muslim dari Inggris, yang beranggapan bahwa program Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang naif dan dangkal. Beliau mengkhawatirkan gagasan gerakan Islamisasi ini nantinya malah menghasilkan deislamisasi (westernisasi) Islam. Terkait pandangan Al Faruqi tentang Ilmu pengetahuan, menurutnya ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam tidak menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dan independen dari realitas absolut (Allah), tetapi melihatnya sebagai bagian integral dari eksistensi Allah. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Faruqi harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesis tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola) hukum Tuhan (divine pattern).[42] Kemudian kritikan tajam datang dari Ziauddin Sardar, menurutnya masyarakat kontemporer telah dibentuk oleh sains; dan sains dan teknologi merupakan alat utama dari imperialisme epitemologi Barat. Al Faruqi memilih untuk mengesampingkan kenyataan yang jelas ini, yaitu bahasa epistimologi sains Baratlah yang telah menciptakan dunia modern, sehingga seharusnya dengan pertimbangan inilah program Islamisasi ilmu pengetahuan itu harus dilaksanakan.
Lebih lanjut ia menyatakan : “ untuk bagian terbesar abad XX, kriteria tentang pengetahuan obyektif – yang dikritik oleh Kuhn- telah memberikan basis epistimologi baik bagi ilmu alam maupun ilmu sosial. Akan tetapi pada masa sekarang ini, kekeliruan anggapan bahwa ilmu sosial memiliki banyak kesamaan dengan ilmu alam mulai disingkapkan. Dalam perdebatan mengenai obyektifitas dalam ilmu sosial, apa yang dinamakan tradisi idealis terbukti sangat dominan. Tradisi ini memiliki apriori : 1) Bahwa persepsi, daripada dianggap netral secara konseptual, dibangun oleh kategori linguistik, sikap mental, maupun interest pengamat; 2) kategori menurut term mana pengalaman diorganisasikan – sperti halnya parameter kebenaran dan validitas-merefleksikan nilai dan interest kelompok, 3) Bahwa manusia tidak mengalami realitas sebagai sesuatu yang ditafsirkan, tetapi realitas itu dikonstruksi oleh skema konseptual (Kant), ideologi (Marx), cagar – bahasa (Wittgenstein), atau paradigma (Kuhn).[43]
Lantas, apakah yang dimaksud dengan melaksanakan program untuk menanamkan spirit Islam pada disiplin yang dibentuk oleh persepsi, konsep, ideologi, bahasa dan paradigma masyarakat lain? Apakah ini bisa dianggap sebagai Islamisasi ilmu pengetahuan ataukah Westernisasi Islam?      
Ketika Al Faruqi menyatakan bahwa salah satu dari program Islamisasi sains adalah menemukan relevansi Islam pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, tampak seakan-akan ia mengerjakan sesuatu yang terbalik, yang diistilahkan Sardar dengan putting the card before the horse. Jadi bukan Islam yang perlu dibuat relevansi dengan ilmu pengetahuan modern, tetapi ilmu pengetahuan modernlah yang seharusnya dibuat relevans dengan Islam, karena Islam adalah sesuatu yang secara apriori relevans dengan segala sesuatu.
Komentar kelima : Al-Attas juga meng”amini” pendapat tersebut diatas. Langkah dalam kerangka kerja al-Faruqi tersebut seolah-olah menggambarkan ada yang salah dalam ilmu pengetahuan Islam sehingga perlu dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak dibenarkan dan perlu dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dari Barat. Inilah yang menjadi alasan al-Attas bahwa yang perlu diislamisasi hanyalah ilmu pengetahuan kontemporer atau masa kini, sedangkan ilmu pengetahuan Islam tradisional hanya diteliti sekedar untuk melihat sejauhmana penyimpangannya dari tradisi Islam tapi bukan untuk direlevansikan terhadap ilmu pengetahuan Barat

Demikian beberapa kritik atas pemikiran dan latar belakang gagasan Islamisasi ilmu yang diusung oleh Al Faruqi dan pengikutnya, setidaknya data tersebut menjadi pelengkap dalam pembahasan tentang keberadaan dan eksistensi Ismail R Al Faruqi sebagai salah satu Tokoh Pencetus Islamisasi Ilmu Pengetahuan. 



PENUTUP

KESIMPULAN
1.      Riwayat Hidup
Ismail Raji Al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu sosial kontemporer. aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan peristiwa yang sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986bersama istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh orang yang tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu berkaitan erat dengan kecamannya terhadap zionisme Israel serta dukungannya kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya.
2.      Karya Al Faruqi
Diantara karya-karya Al Faruqi adalah : Tauhid :its Imlications for Thought and file (1982), Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), Cristian Ethics, Triolouge of Abraham Faits,  Historical Atlas of the Region of the World, Cultural Atlas Islam. Tulisan-tulisannya yang lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961); Particularisme in the Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of arabe States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969) (AI-Faruqi, 1975:XI).
3.      Pemikiran Islamisasi Al Faruqi
a.  Latar belakang Islamisasi
Bahwa umat Islam saat ini hampir di semua segi –baik politik, ekonomi, budaya, maupun pendidikan- berada dalam keadaan yang lemah. Al Faruqi menyebut hal ini sebagai malaise yang dihadapi sebagai efek dari “malaisme” mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat hanya bisa diobati dengan injeksi epistemologi. Oleh karena itu tugas utama umat Islam adalah harus segera memecahkan problem pendidikan tersebut salah satunya dengan islamisasi pengetahuan.
b.  Pengertian Islamisasi menurut Al Faruqi
Al Faruqi mendefinisikan islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka memperkaya visi dan perjuangan Islam
c.  Prinsip, Tujuan dan Langkah-langkah Islamisasi
Prinsip-prinsip islamisasi ilmu Al Faruqi berlandaskan pada konsep Tauhid, yang tersebut ialah: Keesaan Allah,  Kesatuan alam semesta, Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, Kesatuan hidup, Kesatuan umat manusia.
Tujuan menguasai disiplin-disiplin modern, menguasai khazanah Islam, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern, mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Langkah-langkah Islami : pertama, penguasaan terhadap disiplin-disiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. keenam, penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, survei mengenai problem-problem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan kedua belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.



d. Komentar tentang Pemikiran Al Faruqi
Pertama ada indikasi bahwa Al Faruqi banyak terpengaruh bahkan terkesan menjiplak ide Al Attas tentang Islamisasi pengetahuan namun Al Faruqi tidak mau mengakuinya secara langsung, sehingga kaitannya dalam memberikan kontribusi yang ekstensif mengenai ide Islamisasi yang dia usung, timbul pertanyaan ‘Sudahkah Al Faruqi dan pendukungnya mengakui dengan benar sumber ide mereka dengan menyebut nama dan tulisan tertentu, yaitu Al Attas, seperti yang telah diungkapkannya kepada mereka dalam bentuk presentasi dan tulisan-tulisan, seperti yang biasa dilakukan semua penulis yang serius dalam karya-karya penting mereka. Sementara itu Al Attas,  menyadari bahwa beberapa ide utamanya telah diambil tanpa pengakuan yang sewajarnya.
Kedua, S.A. Ashraf melakukan kritik terhadap al-Faruqi Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan prinsip yang dinukil dari al-Quran dan al-Sunnah.
Ketiga, Syed Hossein Nasr para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.
Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Faruqi harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesis tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola) hukum Tuhan (divine pattern). Namun apa yang dilakukan Faruqi ini mendapat kritikan tajam dari Ziauddin Sardar, menurutnya masyarakat kontemporer telah dibentuk oleh sains; dan sains dan teknologi merupakan alat utama dari imperialisme epitemologi Barat.
 Kelima, Langkah dalam kerangka kerja al-Faruqi tersebut seolah-olah menggambarkan ada yang salah dalam ilmu pengetahuan Islam sehingga perlu dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak dibenarkan dan perlu dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dari Barat.
ANALISA
Islamisasi Ilmu Pengetahuan muncul dari proses dialektika yang panjang dari pemikir-pemikir muslim, salah satunya adalah Ismail R Al Faruqi salah satu Tokoh penggagas ide ini dengan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan tujuan gagasan tersebut pada dasarnya adalah sama yaitu untuk mencegah penyebaran  lebih luas "virus-virus" Westernisasi yang terkandung dalam ilmu pengetahuan modern (sains Barat).
Walaupun masih menjadi perdebatan sampai saat ini tentang apa yang dimaksud dengan Islamisasi ilmu pengetahuan dan langkah-langkah ideal yang harus dilakukan maupun ilmu pengetahuan yang harus di Islamisasi karena setiap pemikir Muslim memiliki konsepnya masing-masing, pun adanya kontroversi dan kritik terkait keberadaaan dan gagasan Islamisasi yang diusung Ismail R Al Faruqi sebagai salah satu (yang dianggap) Tokoh penggagas Islamisasi Sains,  tapi menurut hemat penulis itu bukan persoalan yang penting. Hal mendesak yang harus dilakukan sekarang adalah merealisasikan gagasan itu sendiri, sehingga gagasan Islamisasi tidak terhenti dan hanya menjadi sebuah wacana yang berkembang dan selalu menimbulkan perdebatan. Karena disadari atau tidak, proses westernisasi terus berkembang di dunia Muslim tanpa ada usaha yang jelas untuk menghentikannya atau sekedar menfilternya.
            Dan apresiasi luar biasa kepada Ismail R Al Faruqi atas gagasannya yang bisa dijadikan sumber rujukan untuk menyikapi virus westernisasi Sains Barat sehingga semakin memperkaya khazanah intelektual Islam.




DAFTAR PUSTAKA


A.Khudori Soleh, 2004, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme Modern hingga Post Modernisme, Jakarta:Paramadina.
Budi Harjanto, 2010,  Islamisasi sains, Sebuah upaya Mengislamkan Sains Barat Modern, Jakarta: Al Kautsar.
Kafrawi Ridwan (Ed), 1993,  Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve.
Mudjia Raharjo, ed, 2006, Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, Malang:Uin Malang Press.
Mujamil Qomar, 2005, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, Jakarta:Erlangga.
Panjiman, No.504 Edisi MEI 1986
Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005)
Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003,  Filsafat dan praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, Bandung:Mizan.
Zainal Habib, 2007  Islamisasi Sains, Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Prespektif , Malang:Uin Malang Press
Ziauddin Sardar, 1998, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter Sains Islami  Surabaya: Risalah Gusti.




[1] Mudjia Raharjo, ed,. Quo Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang:Uin Malang Press, 2006), h. 220
[2] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), h.116
[3] Lihat Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang, dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005, 25.
[4] Ghulsyani, 1986 dalam  Mudjia Rahardjo, h. 219
[5] Ibid, Mujammil Qomar, h. 123
[6] Kafrawi Ridwan (Ed), Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve 1993, h.334
[7] A.Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), h.273
[8] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme Modern hingga Post Modernisme, (Jakarta:Paramadina, 1996), h. 50
[9] Panjiman, No.504 Edisi MEI 1986
[10] Ibid, Khudori Sholeh, h. 274
[11]Ibid, Panjiman, No.504 Edisi MEI 1986
[12] Zainal Habib, Islamisasi Sains, Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Prespektif (Malang:Uin Malang Press, 2007), h. 51 atau Lihat karya Al Faruqi, Islamisasi pengetahuan, masalah I, h. 1-2
[13] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin,(Bandung:Pustaka, 1995) h. 40
[14] Ibid, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, h. 1-3
[15] Ibid, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, 4-5
[16] Ibid, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan,6-7
[17] Ibid, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, 8-9
[18] Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter Sains Islami ( Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44-45
[19] Ibid, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan,h.40
[20] Ibid, Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan,h. 22
[21] Victoria Neufeld (Ed.), Websters New World Dictionary (Cleveland & New York: Websters New World, 1988), h. 715
[22] Budi Harjanto, Islamisasi sains, Sebuah upaya Mengislamkan Sains Barat Modern, (Jakarta: Al Kautsar, 2010), h.125
[23]Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), h. 35-36

[24] Tauhid merupakan sumber kebenaran dalam islam (the source of Islam). lihat dalam Ismail Raji Al-Faruqi, Tuhid; Its Implication..., p. 53-54
[25] Ibid, Ismail Faruqi, Islamisasi....,h. 55-96
[26] Ismael Faruqi dalam Khudori Sholeh, h. 278
[27] Ibid, Ismail Faruqi, Islamisasi..., h.58-66
[28] Kamaruddin Hidayat & wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta:UI Press, 1995), h. 113
[29] Ibid, Ismail Faruqi, Islamisasi..., h.40-41
[30] Ibid, Ismail Faruqi, Islamisasi..., h. 85
[31] Ibid, Ismail Faruqi, Islamisasi..., h. 48
[32] Ziaudin Sardar, Jihad Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44
[33] Ibid, Ismail Faruqi, Islamisasi..., h. 28
[34] Ibid, Ismail Faruqi, Islamisasi..., h. 98-121
[35] Ibid, Al Faruqi, Islamisasi ilmu-ilmu sosial, h.7, atau Lihat Zainal  Habib, h. 54
[36] Thaha Jabir Al Alwani, “ Islamization of Methodology, h. 238., dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung:Mizan,2003), h. 393
[37] Lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung:Mizan,2003), h. 393

[38] Ibid, lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, beberapa pemikiran dan karya Al Faruqi yang terimplikasi dari Al Attas, h. 392-401
[39] CEII, h. Vii. Sesudah hampir 15 tahun, masih tidak ada pengakuan yang dilakukan, Al Attas merasa terpaksa untuk menyebutkan secara singkat bagaimana ide islamisasi ilmu pengetahuan masa kini telah diambil oleh Al Faruqi. Lihat IS, cet.II, h. Xii, catatan no.4, dalam ibid, Wan Mohd Nor Wan Daud, h. 410
[40] Ibid, Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan), h. 40
[41] Ibid, Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan),  h. 41
[42] Iwan Tri Yuwono, “Metodologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan:Orientasi Masa Depan”, Majalah Salam, Tahun II, 1988 h. 88 dalam Zainal Habib, Op. Cit, h. 54
[43]Ibid, Ziauddin sardar, h. 89

No comments:

Post a Comment