PENDAHULUAN
Diskursus tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan yang kurang lebih tumbuh di kalangan Ilmuwan Muslim sejak tiga
dekade terakhir pada saat diselenggarakan sebuah Konferensi Dunia yang pertama
tentang Pendidikan Muslim di Mekkah pada tahun 1977, yang diprakarsai dan
dilaksanakan oleh King Abdul Aziz University[1]
yang berhasil membahas 150 makalah yang ditulis oleh sarjana-sarjana dari 40
negara dan merumuskan rekomendasi untuk pembenahan dan penyempurnaan sistem
pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh umat Islam seluruh dunia. Salah satu
gagasan yang direkomendasikan adalah menyangkut Islamisasi Pengetahuan.
Islamisasi pengetahuan
sebenarnya adalah sebuah gagasan upaya untuk menetralisir pengaruh sains Barat
modern sekaligus menjadikan Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan yang juga
sebagai upaya membersihkan pemikiran-pemikiran Muslim dari pengaruh negatif
kaidah-kaidah berpikir ala sains modern, sehingga pemikiran Muslim benar-benar
steril dari konsep sekuler.[2]
Banyak pemahaman ilmu pengetahuan yang terlanjur tersekulerkan dapat digeser
dan diganti dengan pemahaman-pemahaman yang mengacu pada pesan-pesan Islam,
manakala “proyek Islamisasi Pengetahuan” benar-benar digarap secara serius dan
maksimal, sebagai tindak lanjut para pemikir Muslim harus berupaya keras
merumuskan islamisasi pengetahuan secara teoritis dan konseptual yang
didasarkan argumen rasional dan wahyu Tuhan.
Di UIN Malang, berdasarkan
penelusuran yang dilakukan oleh Ummi, menemukan beberapa versi pemahaman
tentang Islamisasi ilmu pengetahuan. Versi pertama; beranggapan bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sekedar memberikan ayat-ayat yang sesuai
dengan ilmu pengetahuan umum yang ada (ayatisasi). Kedua, mengatakan
bahwa Islamisasi dilakukan dengan cara mengislamkan orangnya. Ketiga,
Islamisasi yang berdasarkan filsafat Islam yang juga diterapkan di UIN Malang
dengan mempelajari dasar metodologinya. Dan keempat, memahami Islamisasi
sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang beretika atau beradab.[3]
Islamisasi pengetahuan mempunyai beberapa fungsi yakni; sebagai penyelamat terhadap umat Islam, khususnya dari penyelewengan-penyelewengan penerapan Sains Barat, sebagai pemberi alternatif tentang cara-cara memperoleh pengetahuan secara dinamis, mencerminkan nilai-nilai ketakwaan, kreatif, dan produktif yang disebut dengan epistimologi Islam. Kedua fungsi tersebut bisa terwujud bila mempu menciptakan islamisasi pengetahuan yang didasarkan dan dijalankan atas sebuah komitmen menyelamatkan sekaligus menyempurnakan kondisi umat Islam. Bila tidak, maka islamisasi hanya akan terwujud dalam sebuah slogan-slogan Islam saja dan tidak berfungsi apa-apa. Islamisasi juga berfungsi menghindarkan sikap latah dengan meniru sistem Barat. Sikap meniru tersebut sangat berbahaya, jika meniru dengan membabi buta tanpa membangun infrastruktur konseptual kita sendiri yang kukuh maka secara tidak langsung kita malah menjadi sehabat dan pendukung pemberontak-pemberontak intelektual Barat yang telah berusaha mencemarkan apa yang mereka sebut dengan ‘religius’, maka upaya Islamisasi harus dilakukan secara menyeluruh, total menyentuh akar yang paling pokok.
Usaha islamisasi pengetahuan ini
sangat berat dan membutuhkan konsentrasi yang besar, belum lagi adanya
perdebatan pro dan kontra[4]
dalam menyikapi isu ini.
Pihak yang pro berargumentasi, bahwa 1)
Umat Islam membutuhkan sebuah sistem sains untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka baik material maupun spiritual. Sedangkan sistem sains yang ada kini
belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, karena masih banyak nilai-nilai
yang bertentangan dengan Islam, 2). Kenyataan membuktikan bahwa sains modern
telah menimbulkan amcaman-ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan umat manusia
dan lingkungannya; dan, 3) Umat islam pernah memiliki suatu peradaban Islami,
yaitu sains berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan umat, sehingga
untuk menciptakan kembali sains Islam dalam peradaban yang Islami perlu
dilakukan Islamisasi Sains.
Pihak yang Kontra
berargumen bahwa dilihat dari segi historis perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di Barat saat ini banyak diilhami oleh para ulama Islam yang
ditransformasikan terutama pada “masa keemasan Ialam”, sehingga mereka banyak
berhutang budi terhadap ilmuwan Muslim. Karena itu, jika kita hendak meraih
kemajuan di bidang iptek, maka kita perlu transformasi besar-besaran dari Barat
tanpa ada rasa curiga, walaupun harus selalu waspada, Iptek adalah netral, ia
bergantung kepada pembawa dan pengembangnya. Karena itulah Islamisasi ilmu
pengetahuan adalah tidak begitu penting, tetapi yang lebih penting adalah
justru Islamisasi subjek atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri.
Para pemikir seperti An Naquib
Al Attas, Ismail Raji Al Faruqi, Ziauddin Sardar, merupakan pelopor “proyek
Islamisasi pengetahuan”, meskipun konsep-konsep operasional yang ditawarkan
berbeda. Kemudian para pemikir, seperti Mohammed Arkoun dan Aziz Al Azmeh
menentangnya. Sedangkan Fazlur Rahman tidak jelas kecenderungannnya. Dia
cenderung menolak dari satu sisi, tetapi di sisi lain dia memberikan saran-saran
tentang cara melakukan islamisasi pengetahuan.[5]
Mereka memiliki alasan tersendiri untuk mempertahankan argumen masing-masing.
Dengan berbagai pandangan dan
pemaknaan yang muncul secara beragam ini perlu kiranya untuk diungkap dan agar
lebih dipahami apa yang dimaksud “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”
Terlepas dari
pro dan kontra diatas dan adanya berbagai pandangan dan keberagaman pemaknaan
yang muncul tentang islamisasi ilmu pengetahuan, maka pada makalah ini penulis mencoba mengupas lebih
detail tentang konsep pemikiran Ismail Raji Al Faruqi sebagai salah satu Tokoh
pelopor Islamisasi Pengetahuan yang getol menawarkan konsep Islamisasi
pengetahuan dan yang sekaligus menolak klaim ilmu-ilmu sosial Barat yang
bersifat ilmiah dan obyektif karena pendekatannya yang bebas nilai (value
free). Karena menurutnya ilmu pengetahuan Barat. Khususnya ilmu sosial,
akan bias pada nilai Barat yang dihayatinya. Karena itu, yang menentukan
adalah orang, manusia penghayat ilmu itu. Penghayatan nilai ilmuwan itu yang
menentukan apakah ilmunya berorientasi pada Islam ataukah non Islam.
PEMBAHASAN
1. RIWAYAT HIDUP
PEMBAHASAN
1. RIWAYAT HIDUP
Ismail Raji Al-Faruqi lahir di
Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Dikenal secara
luas sebagai ahli ilmu agama Islam dan ilmu perbandingan agama. Ia juga
dikenal sebagai penganjur Pan-Islamisme.[6]
Memulai studi di College des Freres Libanon, yang menggunakan bahasa Prancis
sebagai bahasa pengantarnya. Pada tahun 1941, ia melanjutkan pendidikan di
American University, Beirut. Gelar sarjana mudanya dengan gelar Bachelor of
Arts (BA) dalam bidang filsafat ia peroleh dari universitas tesebut pada
usia 20 tahun, kemudian ia menjadi pegawai pemerintah Palestina dibawah mandat
Inggris selama empat tahun dan bahkan sempat menjabat sebagai gubemur di daerah
Galelia pada usia 24 tahun, namun jabatan itu tidak lama karena pada tahun 1947
jatuh ke tangan Israel.
Pada tahun berikutnya Al-Faruqi
memutuskan untuk berhijrah ke Amerika Serikat. Di sana ia melanjutkan studinya yang
sempat terhenti. Kemudian ia melanjutkan studinya di Indiana University pada
tahun 1948, hingga mencapai gelar master dalam bidang filsafat. Dua tahun
berikutnya ia kembali memperoleh gelar master di Harvard University, juga dalam
bidang falsafat. Puncaknya, tahun 1952, Faruqi meraih gelar Ph.D dari Universitas
Indiana, dengan disertasi berjudul On Justfying the God;Metaphic and
Epistemology of Value (tentang Pembenaran Tuhan, Metafisika, dan
Epistemologi Nilai).
Untuk memperdalam keislaman,
empat tahun berikutnya ia menimba ilmu di Al-Azhar University, Kairo Mesir.
Beberapa tahun kemudian ia menjadi Profesor tamu untuk studi keislaman di
McGill University (1958-1961) seraya mempelajari Yudaisme dan Kristen secara
intensif dan di Pana Central institute of Islamic Research, Karachi, Pakistan
untuk ambil bagian dalam kegiatan Central Institute for Islamic Research
(CIIR) dan jurnalnya, Islamic Studies. Dua tahun di Pakistan, tahun 1963,
Faruqi kembali ke Amerika dan mengajar di School of Devinity, Universitas
Chicago untuk studi ilmu sejarah dan ilmu agama, sambil melakukan kajian
keislaman di Saracus University New York (1964-1968) dan sebagai lektor kepala llmu agama.
Selanjutnya pada tahun 1968, Faruqi pindah dan menjadi guru besar Pemikiran dan
Kebudayaan Islam pada Temple University, Philadelpia. Disini Faruqi mendirikan Islamic
Studies sekaligus memimpinnya sampai akhir hayatnya, 27 Mei 1986.[7]
Di samping kontribusinya yang
besar dalam memperkenalkan studi-studi keislaman di berbagai perguruan tinggi
di Amerika dan proyeknya yang terkenal, ‘Islamisasi Ilmu Pengetahuan’, Faruqi
juga aktif dalam gerakan-gerakan keislaman dan keagamaan. Bersama istrinya, Dr.
Lousi Lamya, ia membentuk kelompok-kelompok kajian Islam, seperti Muslem
Student Association (MSA), American Academy of Religion (AAR),
mendirikan Himpunan Ilmuan Sosial Muslim (The Association of Muslem Social
Scientist-AMSS), the International Institute of Islamic Thought (IIIT),
Islamic Society of North America (ISNA),
dan menerbitkan jurnal American Journal of Islamic Science (AJISS).[8]
Pada masa hayatnya, Al-Faruqi
pernah memegang jabatan penting dalam kapasitasnya sebagai ilmuan. Diantaranya
adalah kepala studi keislaman di Temple University, AS; Direktur Institut Islam
di University Chicago; Direktur Institut Intemasional pemikir Islam do Washington;
dan presiden Institut studi Lanjutan Washington.[9]
Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam
bidang keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan
ilmu-ilmu sosial kontemporer. Untuk mencapai tujuan ini ia mendirikan Himpunan Ilmuan
Sosial Muslim (The Assosiation of muslim Social Scientists). Ia menjadi
presiden yang pertama pada tahun 1972 hingga 1978. Al-Faruqi juga berperan
penting dalam pembentukan lembaga Internasional (The Intemasional Institute if
Islamic Thought). Kedua lembaga tersebut secara bersama-sama menerbitkan jurnal
American Journal of Islamic Social Sciences.
Selain itu, Faruqi juga duduk
sebagai penasehat serta ikut mendesain program studi Islam di berbagai
Universiytas di dunia Islam, antara lain, Pakistan, India, Afrika Selatan,
Malaysia, Saudi Arabia dan Mesir. Juga di tempat-tempat isolatif seperti di
Universitas Mindanao, Philipina Selatan, dan Universitas Qum, Teheran Iran.[10] s
Tetapi sangat disayangkan
aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan peristiwa yang
sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986 bersama istrinya Lamiya
Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh orang yang tak dikenal,
di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu berkaitan erat dengan
kecamannya terhadap zionisme Israel serta dukungannya kepada rakyat Palestina
yang merupakan tanah airnya. Di lain pihak ada kelompok menilai bahwa kematian
Al-Faruqi adalah salah satu korban dari teori 19, sebagaimana yang dikemukakan
oleh Kahlifah antara lain menulis:
"Ismail AI-Faruqi telah mencurahkan hidupnya untuk
melawan Tuhan, Nabiulah Muhammad SA W dan mukjizat Tuhan yang datang pada kita melalui
Muhammad, setelah sepuluh tahun menolak untuk menyokong kebenaran dan mendukung
"mukjizat matematika" AI-Qur'an akhirnya Al- Faruqi menerima hukum
dan balasannya, ini keputusan Tuhan bukan keputusan kita, di hari kemudian
nanti dia akan menerima hukuman yang jauh lebih butut dan abadi”[11]
Tampaknya, apa yang dikemukakan
oleh kelompok 19 ini hanyalah suatu sikap yang bemada emosional belaka, karena
berkenaan dengan penolakan Al-Faruqi terhadap ide yang mereka kemukakan.
2.
KARYA Al FARUQI
Al.-Faruqi adalah ilmuan yang produktif. Ia berhasil
menulis lebih dua puluh buku dan seratus artikel yang mencakup berbagai
persoalan, antara lain etika, seni, sosiologi, kebudayaan, metafisika dan
politik. Diantara bukunya yang terpenting adalah: Tauhid :its Imlications
for Thought and file (1982). Buku ini mengupas tentang tauhid secara
lengkap. Tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan bahkan lebih dari
itu, tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu segi
politik, sosial, dan budaya. Dari inilah kita dapat melihat titik tolak
pemikiran Al- Faruqi yang berplikasi pada pemikirannya dalam bidang-bidang
lain. Dalam buku Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982),
walaupun ukurannya sangat sederhana, namun menampilkan pikiran yang cemerlang
dan kaya, serta patut dijadikan rujukan penting dalam masalah Islamisasi ilmu
pengetahuan, didalamnya terangkum langkah-langkah apa yang harus ditempuh dalam
proses islamisasi tersebut.
Karyanya yang berhubungan dengan ilmu perbandingan agama
cukup banyak, hal ini dapat dimaklumi karena ia sendiri adalah orang yang ahli
dalam perbandingan agama. Walaupun ia diargumentasikan tak cukup
"sukses" sebagai ahli perbandingan agama. Berbagai karya dalam bidang
ini menunjukkan ia kelewat "terbakar" oleh Islam untuk
mengaprisiasikan agama-agama lain. Ia lebih mengambil posisi sebagai pendebat
dan missionaris teguh yang membela dan mendakwakan Islam. Bukunya yang secara
khusus membahas perbandingan agama adalah Cristian Ethics, Triolouge of
Abraham Faits pada buku ini terdapat tiga topik utama: Tiga agama saling
memandang. Konsep tiga agama tentang negara dan bangsa, konsep tiga agama
tentang keadilan dan perdamaian, masing-masing penyumbang dari Yahudi, Kristen
dan Islam menawarkan prespektif yang jelas mengenai pokok persoalan berdasarkan
tiga topik utama tersebut. Buku ini merupakan sebuah langkah baru perbandingan
agama yang dapat membuka jalan bagi pemikiran an diskusi masa depan, serta buku
Historical Atlas of the Region of the World.
Dan karyanya yang dianggap monumental adalah Cultural
Atlas Islam, karya ini ditulis bersama istrinya, Louis lamiya AI-Faruqi,
dan diterbitkan tak lama setelah keduanya meninggal. Tulisan-tulisannya yang
lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University
Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961); Particularisme
in the Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of
arabe States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969)
(AI-Faruqi, 1975:XI), serta banyak lagi artikel dan makalah yang sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia.
3.
PEMIKIRAN AL FARUQI
a. Latar Belakang Islamisasi
Al Faruqi mengungkapkan alasan yang melatarbelakangi pemikirannya tentang perlunya
islamisasi. Dalam pandangan al-Faruqi adalah bahwa umat Islam saat ini hampir
di semua segi –baik politik, ekonomi, budaya, maupun pendidikan- berada dalam
keadaan yang lemah. Al Faruqi menyebut hal ini sebagai malaise yang
dihadapi umat.[12]
Kemerosotan muslim dewasa ini telah menjadikan Islam berada pada zaman
kemunduran. Kondisi yang demikian menyebabkan meluasnya kebodohan. Di kalangan
kaum muslimin berkembang buta huruf, kebodohan, dan tahayul. Akibatnya, umat
Islam lari kepada keyakinan yang buta, bersandar kepada literalisme dan
legalisme, atau menyerahkan diri kepada pemimpin-pemimpin atau tokoh-tokoh mereka. Dan
meninggalkan dinamika ijtihad sebagai suatu sumber kreativitas yang semestinya
dipertahankan.[13]
Zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan
umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa terbawah.[14]
Dalam
kondisi seperti ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu
yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan sebagian kaum muslimin tergoda oleh
kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi.
Ternyata jalan yang ditempuh melalui jalan westernisasi telah menghancurkan
umat Islam sendiri dari ajaran al-Qur’an dan Hadis. Sebab berbagai pandangan
dari Barat, diterima umat Islam tanpa dibarengi dengan adanya filter.[15]
Persoalan
westernisasi akhirnya telah merembes ke persoalan bidang akademik. Banyak
generasi muda muslim yang berpendidikan Barat bahkan telah memperkuat
westernisasi dan sekulerisasi di lingkungan perguruan tinggi. Meskipun kaum
muslimin sudah memakai sistem pendidikan sekuler Barat. Baik kaum muslimin di
lingkungan universitas maupun cendekiawan, tidak mampu menghasilkan sesuatu
yang sebanding dengan kreativitas dan kehebatan Barat. Hal ini disebabkan
karena dunia Islam tidak memiliki ruh wawasan vertikal yaitu wawasan Islam.[16]
Gejala tersebut dirasakan al-Faruqi sebagai apa yang disebut dengan “the
lack of vision”. Kehilangan yang jelas tentang sesuatu yang harus
diperjuangkan sampai berhasil.[17]
Walaupun dalam aspek-aspek tertentu kemajuan Barat ikut memberi andil
positif bagi umat, namun al-Faruqi melihat bahwa kemajuan yang dicapai umat
Islam bukan sebagai kemajuan yang dikehendaki oleh ajaran agamanya. Kemajuan yang mereka capai, hanya
merupakan kemajuan semu. Di satu pihak umat Islam telah berkenalan dengan
peradaban Barat, tetapi di pihak lain mereka kehilangan pijakan yang kokoh,
yaitu pedoman hidup yang bersumber moral agama.
Dari
fenomena ini, al-Faruqi melihat kenyataan bahwa umat Islam seakan berada di
persimpangan jalan. Sulit untuk menentukan pilihan arah yang tepat. Karenanya,
umat Islam akhirnya terkesan mengambil sikap mendua, antara tradisi keislaman
dan nilai-nilai peradaban Barat. Pandangan dualisme yang demikian ini menjadi
penyebab dari kemunduran yang dialami umat Islam. Menurut al-Faruqi, sebagai
efek dari “malaisme” mengakibatkan timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan
Islam dan kehidupan umat hanya bisa diobati dengan injeksi epistemologi. Oleh karena itu tugas utama umat Islam
adalah harus segera memecahkan problem pendidikan :
“tidak dapat
diharapkan adanya kebangkitan kembali umat jika sistem pendidikannya tidak
diubah dan beberapa kesalahannya tidak dikoreksi. Yang diperlukan saat ini
adalah pembaharuan sistem pendidikan. Dualisme sistem pendidikan muslim yang
ada sekarang, bifurifikasi (pencabang-duaan)-nya menjadi sistem Islam dan
sistem sekuler harus dihapuskan. Kedua sistem itu harus digabungkan dan
diintegrasikan sementara sistem yang akan muncul harus diinfus dengan spirit
Islam dan berfungsi sebagai bagian integral dari program ideologisnya”[18]
Proses westernisasi pasca penjajahan
Barat, terjadi di hampir seluruh negara muslim. Akibatnya umat Islam dewasa ini
menjadi terbingungkan (confused). Keadaan tersebut menyebabkan keadaan
kultur integritas Islam terpecah, baik dalam aspek pemikiran maupun perbuatan.[19]
Dari situlah kemudian al-Faruqi
berkeyakinan bahwa sebagai prasyarat untuk menghilangkan dualisme tersebut dan sekaligus
mencari jalan keluar dari “malaisme” yang dihadapi umat, maka
pengetahuan harus diislamisasikan atau diadakan asimilasi pengetahuan agar
serasi dengan ajaran tauhid dan ajaran Islam.[20]
b. Pengertian Islamisasi Menurut Al Faruqi
Secara
umum, istilah Islamisasi adalah membawa sesuatu ke dalam Islam[21] atau membuatnya dan
menjadikannya Islam. Definisi ini bukan berarti Islam tidak bersifat universal,
tapi lebih berarti bahwa di luar Islam ada berbagai macam hal yang jauh dari
nilai-nilai Islam. Dari sini justru istilah Islamisasi merupakan gambaran
universal sebagai langkah atau suatu usaha untuk memahamkan sesuatu dengan
kerangka Islam (Islamic framework) dengan memasukkan suatu pemahaman
Islam. Untuk itu, pemahaman atau sesuatu yang jauh dari nilai Islam tersebut
ketika masuk dalam wilayah Islam dibutuhkan adanya upaya yang disebut sebagai
Islamisasi.
Menurut
Ismail R. al-Faruqi, menyebut istilah Islamisasi Ilmu pengetahuan dengan Islamization
of Knowledge (IOK), dalam Bahasa Arab disebut dengan Islamiyyatul
Ma’rifah[22] yang bermakna
segala disiplin ilmu (baik kontemporer maupun tradisi Islam) mesti
‘di-Islamkan’. Namun istilah ini banyak ditentang-terutama oleh Al Attas karena
mengandung arti semua ilmu, termasuk ilmu-ilmu agama juga harus di Islamkan.
Tentang
pendefinisian atau pengertian tentang islamisasi ilmu pengetahuan, dia
menjelaskan bahwa pengertian dari islamisasi ilmu yaitu sebagai usaha untuk
memfokuskan kembali ilmu yaitu, untuk mendefinisikan kembali, menyusun ulang
data, memikir kembali argumen dan rasionalisasi yang berhubungan dengan data
itu, menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan dan
disiplin itu ditujukan memperkaya visi dan perjuangan Islam.[23]
Islamisasi
ilmu pengetahuan itu sendiri berarti melakukan aktifitas keilmuan seperti
mengungkap, menghubungkan, dan menyebarluaskannya manurut sudut pandang ilmu
terhadap alam kehidupan manusia. Menurut aI-Faruqi, islamisasi ilmu pengetahuan
berarti mengislamkan ilmu pengetahuan modern dengan cara menyusun dan membangun
ulang sains sastra, dan sains-sains ilmu pasti dengan memberikan dasar dan
tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus dituangkan
kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam
strateginya, dalam data-datanya dan problem-problemnya. Seluruh disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mengungkapkan relevensi Islam yang bersumberkan
pada tauhid.[24]
Dari
penjabaran diatas, disimpulkan bahwa Al Faruqi mendefinisikan
islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan
cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan
rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan
tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan
semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan Islam
dan bermanfaat bagi cita-cita.
c. Prinsip dasar Islamisasi
Al-Faruqi menggariskan beberapa
prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan cara
hidup Islam. Faruqi meletakkan pondasi epistemologinya islamisasi ilmunya pada prinsip
tauhid yang terdiri dari lima macam kesatuan,[25]
Prinsip-prinsip
tersebut ialah:
1). Keesaan
Allah.
Bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah, yang meniptakan dan memelihara semesta. Implikasinya, dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan, bahwa sebuah pengetahuan bukan untuk
menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dari realitas
Absolut (Tuhan), melainkan melihatnya sebagai bagian yang integral dari
eksistensi Tuhan. Karena itu, Islamisasi ilmu mengarahkan pengetahuan pada
kondisi analisa dan sintesa tentang hubungan realitas yang dikaji dengan hukum
Tuhan (divine pattern).[26]
.
2). Kesatuan alam semesta.
Bahwa semesta
ini baik yang material, psikis, spasial (ruang), biologis, sosial, maupun estetis,
adalah kesatuan yang integral. Masing-masing saling kait dan saling
menyempurnakan dalam ketentuan hukum alam (sunnatullah) untuk mencapai tujuan
akhir tertinggi, Tuhan. Namun. Bersamaan dengan itu, dia juga menundukkan alam
semesta untuk manusia, sehingga mereka bisa mengubah polanya dan
mendayagunakannya demi kesejahteraan umat.[27]
Kaitannya dengan islamisai ilmu, maka setiap penelitian dan usaha pengembangan
keilmuwan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah
kepada Nya. Ini berebda dengan prinsip keilmuan Barat, dimana sejak abad 15,
mereka sudah tidak berterima kasih pada Tuhan melainkan hanya pada dirinya
sendiri. Mereka telah memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologis dan
agama.[28]
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu
dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling berhubungan dan
keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama
yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan
pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat
kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama, kesatuan kebenaran
tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari
Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang
dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip
ini bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak
terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh
karena itu diperlukan sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.[29]
Kehendak Tuhan
terdiri atas dua macam. Pertama berupa hukum alam (sunnah Allah) dengan
segala regularitasnya yang memungkinkan diteliti dan diamati, materi, Kedua
berupa hukum moral yang harus dipatuhi, agama. Kedua hukum ini berjalan
seiring, senada, seirama dalam kepribadian muslim. Konsekuensinya, tidak ada
pemisahan antara yang bersifat spiritual dan material, antara jasmani dan ruhani.[30]
5) Kesatuan Umat Manusia.
Islam menganjurkan kebebasan dalam
hubungannya dengan kemanusiaan tanpa batas-batas yang senantiasa menghampiri
mereka. Dalam konteks ilmu pengetahuan, nampak bahwa keinginan al-Faruqi,
ilmuwan beserta penemuannya, hendaknya memberi kesejahteraan kepada umat
manusia tanpa memandang etnis. Ketaqwaan yang dipergunakan oleh Islam yang
membebaskan dari belenggu himpitan dunia hendaknya menjadi landasan bagi para
ilmuan.[31]
d. Tujuan
dan Langkah-langkah Islamisasi
Al-Faruqi juga menawarkan suatu rancangan kerja sistematis yang menyeluruh
untuk program islamisasi ilmu pengrtahuannya yang merupakan hasil dari usahanya
selama bertahun-tahun melaksanakan perdebatan-perdebatan dan diskusi-diskusi
melalui sejumlah seminar internasional yang diselenggarakan.[32] Rencana kerja al-Faruqi untuk program islamisasi mempunyai
lima tujuan yaitu: pertama, menguasai
disiplin-disiplin modern. Kedua, menguasai khazanah Islam. Ketiga,
menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern. Keempat. mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif
antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. Dan kelima,
mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan
pola rancangan Allah.[33]
Menurut al-Faruqi, tujuan di atas
bisa dicapai melalui 12 langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah pada
Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, Penguasaan terhadap
disiplin-disiplin modern. Kedua, Peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, Penguasaan
ilmu warisan Islam yang berupa antologi.
Keempat, Penguasaan ilmu warisan Islam yang berupa analisis. Kelima,
penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevansi
ini, kata al-Faruqi, dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan yaitu:
a). Apa yang telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur’an hingga
pemikiran-pemikiran kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup
oleh disiplin-disiplin modern; b). Seberapa besar sumbangan itu jika
dibandingkan dengan hasil-hasil yang telah diperoleh oleh disiplin-disiplin
tersebut; c) Apabila ada bidang-bidang masalah yang sedikit diperhatikan atau
bahkan sama sekali tidak diabaikan oleh ilmu warisan Islam, kearah mana kaum
muslim harus mengusahakan untuk mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan
masalah-masalah, dan memperluas visi disiplin tersebut. Kemudian yang keenam,
Penilaian kritis terhadap disiplin modern. Ketujuh, Penilaian krisis
terhadap khazanah Islam. Kedelapan, Survei mengenai problem-problem
terbesar umat Islam. Kesembilan, Survei mengenai problem-problem umat
manusia. Kesepuluh, Analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas, Merumuskan
kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework) Islam. Dan keduabelas,
Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
Selain
langkah tersebut, alat-alat bantu lain untuk mempercepat islamisasi pengetahuan
adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar untuk melibatkan
berbagai ahli di bidang-bidang illmu yang sesuai dalam merancang pemecahan
masalah-masalah yang menguasai antar disiplin. Para ahli yang terlibat harus
diberi kesempatan bertemu dengan para staf pengajar. Selanjutnya pertemuan
pertemuan tersebut harus menjajaki persoalan metode yang diperlukan.[34]
Demikian
langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Faruqi dalam rangka islamisasi ilmu
pengetahuan. Dari kesemua langkah yang diajukannya ini, tentunya dalam aplikasinya,
membutuhkan energi ekstra dan kerja sama berbagai belah pihak. Karena,
islamisasi merupakan proyek besar jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam
dan akurat, maka dibutuhkan usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap
disiplin keilmuan yang digeluti oleh seluruh cendekiawan muslim.
Jadi dari semua uraian di atas, program
islamisasi sains al Faruqi secara garis besarnya dapat dilihat dalam skema
berikut:
Penguasaan terhadap
disiplin-disiplin ilmu modern
|
Survey disipliner
|
Penilaian atas disiplin-disiplim
modern
|
Survey masalah umat
|
Menentukan relevansi Islam untuk disiplin-disiplin
ilmu
|
Analisis dan Sintesis
|
Penguasaan terhadap khasanah Islam
|
Analisis terhadap khasanah Islam
|
Penilaian terhadap khasanah Islam
|
Perumusan kembali
disiplin-disiplin buku-buku teks
|
Survei masalah umat
|
Penyebaran sains yang sudah di
Islamisasikan
|
Penjelasan:
Menurut Al Faruqi, inti semua perkembangan destruktif
sains modern berada dalam metode induktif ilmu alam. Data ilmu alam yang
seharusnya dapat diamati oleh pikiran sehat, terpisah satu sama lain dan dapat
diukur berdasarkan pikiran sehat, sekarang data itu “mati”, dalam pengertian
bahwa ia terbebas dari disposisi pengamatan. Data mencerminkan gambaran dan
perilaku yang sama sepanjang waktu selama kondisi data tersebut tidak berubah
dan selama faktor subyektif si pengamat tidak campur tangan dalam ilmu pengetahuan tiada prinsip yang
keramat dan segala sesuatu dapat dipersoalkan. Bukti eksperimen adalah dasar
buat hipotesi yang tetap shahih sepanjang tidak terdapat eksperimen lain yang
menyangkalnya. Hipotesis merupakan hukum alam ketika eksperimen dan pengamatan
berulang-ulang memperkuat kesahihannya. Hal ini memungkinkan dan perekayasaan.[35]
4.
KRITIK TENTANG
KONSEP ISLAMISASI ILMU PEMIKIRAN AL FARUQI
Komentar Pertama: Ide Islamisasi yang diusung oleh Al Faruqi dalam
risalahnya The Islamization of Knowledge, adalah sebuah realisasi
tentang pentingnya islamisasi ilmu pengetahuan yang muncul secara mendadak.
Thaha Jabir Al Alwani yang kemudian menjadi Presiden IIIT (International
Institute of Islamic Thought), sesudah wafatnya Al Faruqi, memberikan
penilaian singkat mengenai sumbangan Al Faruqi terhadap islamisasi ilmu
pengetahuan, dia menulis ;
“Motif ini
menimbulkan emosi yang kuat dalam dirinya, sebab sebelumnya, emosinya telah
terbagi-bagi ke dalam pelbagai alasan. Tiba-tiba, dia mencurahkan
pikirannya pada motif yang satu ini:islamisasi ilmu pengetahuan. Ide ini
menguasai kehidupan dan aktivitasnya, sebab dia berpikir, berdiskusi, dan
merencanakannya dengan saudara-saudaranya bagaimana merealisasikannya dan
bagaimana memobilisasi masyarakat dan narasumber untuk hal itu.[36]
Datangnya saat-saat kreatif secara tiba-tiba adalah alami, artinya ia tidak
direncanakan sendiri oleh para pemikir atau ilmuwan. Saat-saat seperti ini
tentunya muncul dari Atas, yaitu pemberian Tuhan. Dalam terminologi Al Attas,
hal ini disebut saat-saat konvergensi, yakni ketika jiwa mencapai makna sesuatu,
ketika makna itu telah sampai ke dalam jiwa. Hal ini biasanya terjadi setelah
beberapa lama mencari dan berkontemplasi mengenai suatu problem. Namun, menurut
Wan Mohd Nor Wan Daud dalam kasus Al Faruqi ini, sebenarnya Faruqi tidak
mencurahkan pikirannya untuk motif ini secara mendadak. Hal ini disebabkan
pemikirannya dapat ditelusuri dari perkenalannya secara langsung dengan ide-ide
Al Attas melalui pelbagai diskusi dan bacaan aktual makalah-makalah Al Attas
yang membahas masalah kebingungan pemikiran umat Islam karena sekularisasi,
westernisasi, dan keterputusan mereka dari khazanahnya sendiri. Kenyataan akan
pentingnya ide dan agenda islamisasi ilmu pengetahuan masa kini dan modern itu
diakui sebanyak tiga kali oleh Al Faruqi sendiri.[37]
Diceritakan oleh Wan Mohd Nor Wan Daud bahwa Al Attas dan Al Faruqi,
keduanya bersahabat dan sering mendiskusikan pelbagai masalah penting mengenai
masalah-masalah umat Islam dan solusinya. Persahabatan keduanya dapat
ditelusuri dari awal 1960-an. Sebagai pendiri Direktur IBKKM (Institut Bahasa,
Kesusatraan, dan Kebudayaan Melayu) pada Universitas Kebangsaan Malaysia, pada
1974, Al Attas mengundang Al Faruqi ke Malaysia untuk menyampaikan bbeberapa
seri kuliah dan memeprkenalkannya dengan para intelektual dan aktifis Muslim
setempat, seperti Tokoh-tokoh ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). Pada saat
itulah Al Faruqi mendengar pertama kali dari Al Attas mengenai proyek
islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer, yang pada saat itu, Al Faruqi belum
menyadari elemen-elemen dan implikasi konseptualnya. Hal ini terjadi acara
makan malam di kediaman Presiden ABIM Anwar Ibrahim yang dihadiri oleh
anggota-anggota senior ABIM. Setelah itu, Al Attas diundang ke Temple
University di Philadelphia sebagai Visiting Professor dalam bidang
kajian Islam (tempat Al Faruqi mengajar). Diskusi-diskusi yang dilakukan Al
Attas dengan Al Faruqi di Malaysia dan Philadelphia telah mempengaruhi kegiatan
kegiatan intelektual Al Faruqi secara positif dan mendasar, khususnya dalam
AMSS (Association of Muslim Social Scientist). Oleh karena itu, Al Faruqi sebagai
Presiden AMSS mengundang Al Attas untuk menjadi salah seorang pembicara utama
pada simposium mengenai “Islam dan Pembangunan”dalam rangka Pertemuan Tahunan
Kelima asosiasi tersebut, diadakan di Philadelphia pada 22-24 April 1976. Hanya
selang seminggu, Al Faruqi menulis surat kepada Al Attas untuk mengucapkan
terima kasih atas sumbangannya dalam simposium dan asosiasi itu :
Rekan-rekan
Anda, Anggota Dewan Eksekutif dan sejumlah sahabat Muslim yang dimintai
komentar mengenai presentasi Anda pada pertemuan itu-semuanya bangga dengan
Anda.....Anda adalah AMSS. Presentasi Anda, yaitu stimulasi mengenai
berpikir islami dan kontribusi Anda terhadap warisan pemikiran adalah raison
d’etre dan tujuannya. Saya berharap pemahaman ini dapat Anda realisasikan
secara brilian seperti yang telah Anda presentasikan di hadapan Dewan Eksekutif
AMSS pada lima tahun terakhir......
Bukti lain adalah adanya beberapa istilah dan konsep dalam tulisan-tulisan
Al Faruqi yang sejak awal sudah digunakan Al Attas secara konsisten, hal ini
jelas menunjukkan bahwa Al Faruqi telah membaca dan terpengaruh oleh
istilah-istilah dan konsep-konsep kunci Al Attas serta Implikasinya[38]
bahkan Al Faruqi menganggap Al Attas sebagai Bapak Intelektualnya.
Kemudian dalam kaitannya dalam memberikan kontribusi yang ekstensif
mengenai ide Islamisasi yang dia usung, timbul pertanyaan ‘Sudahkah Al Faruqi
dan pendukungnya mengakui dengan benar sumber ide mereka dengan menyebut nama
dan tulisan tertentu, yaitu Al Attas, seperti yang telah diungkapkannya kepada
mereka dalam bentuk presentasi dan tulisan-tulisan, seperti yang biasa
dilakukan semua penulis yang serius dalam karya-karya penting mereka. Sementara
itu Al Attas, yang menyadari bahwa beberapa ide utamanya telah diambil tanpa
pengakuan yang sewajarnya, menulis :
Terlepas dari kewajiban moral, tujuan
mengakui sumber asal suatu ide yang penting adalah menunjukkan kepada mereka
yang menekuni subjek itu agar mengetahui arah yang benar demi kepentingan
masyarakat; sehu seingga mereka tidak akan salah dalam memahami nilai dan
validitas dari ide itu serta dalam pengembangan dan penjelasannya lebih lanjut
sesuai dengan alur pemikiran yang terdapat di dalamnya. Kesemuanya itu hanya
dapat dilakukan dengan benar oleh sumber aslinya. Namun, jika para penulis
Muslim, baik dalam Bahasa Inggris, Arab, maupun bahasa lain, terbiasa mengklaim
ide-ide penting orang lain sebagai ide mereka sendiri atau sebagai ide orang
lain bukan pemilik asal ide itu, sesungguhnya mereka sama dengan menghancurkan
sumber yang asli dan menghilangkan pengetahuan Masyarakat dari arah yang benar.[39]
Komentar Kedua: tentang konsep Islamisasi Faruqi; S.A. Ashraf melakukan kritik terhadap al-Faruqi yang “ingin penyelidikan
dilakukan terhadap konsep Barat dan Timur, membandingkannya melalui subjek yang
terlibat dan tiba kepada satu kompromi kalau memungkinkan.” Pada
fikirannya, kompromi merupakan sesuatu yang mustahil terhadap dua pandangan
yang sama sekali berbeda. Tidak seharusnya bagi sarjana muslim memulai dengan
konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan berdasarkan prinsip
yang dinukil dari al-Quran dan al-Sunnah.[40]
Komentar ketiga: Dalam
pandangan Syed Hossein Nasr, integrasi yang diinginkan al-Faruqi bukan saja
sesuatu yang mungkin tetapi juga perlu untuk dilakukan. Menurutnya, para
pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam kerangka
pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik dan
menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan Islam
dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah
dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.[41]
Komentar keempat: Kritik lainnya dilakukan oleh
Ziauddin Sardar, pemikir muslim dari Inggris, yang beranggapan bahwa program
Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang naif dan dangkal. Beliau
mengkhawatirkan gagasan gerakan Islamisasi ini nantinya malah menghasilkan
deislamisasi (westernisasi) Islam. Terkait pandangan Al Faruqi tentang Ilmu pengetahuan,
menurutnya ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam tidak menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dan
independen dari realitas absolut (Allah), tetapi melihatnya sebagai bagian
integral dari eksistensi Allah. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan
menurut Faruqi harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesis tentang
hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola) hukum Tuhan (divine
pattern).[42]
Kemudian kritikan tajam datang dari Ziauddin Sardar, menurutnya masyarakat
kontemporer telah dibentuk oleh sains; dan sains dan teknologi merupakan alat
utama dari imperialisme epitemologi Barat. Al Faruqi memilih untuk
mengesampingkan kenyataan yang jelas ini, yaitu bahasa epistimologi sains
Baratlah yang telah menciptakan dunia modern, sehingga seharusnya dengan
pertimbangan inilah program Islamisasi ilmu pengetahuan itu harus dilaksanakan.
Lebih lanjut ia menyatakan : “
untuk bagian terbesar abad XX, kriteria tentang pengetahuan obyektif – yang
dikritik oleh Kuhn- telah memberikan basis epistimologi baik bagi ilmu alam maupun
ilmu sosial. Akan tetapi pada masa sekarang ini, kekeliruan anggapan bahwa ilmu
sosial memiliki banyak kesamaan dengan ilmu alam mulai disingkapkan. Dalam
perdebatan mengenai obyektifitas dalam ilmu sosial, apa yang dinamakan tradisi
idealis terbukti sangat dominan. Tradisi ini memiliki apriori : 1) Bahwa
persepsi, daripada dianggap netral secara konseptual, dibangun oleh kategori
linguistik, sikap mental, maupun interest pengamat; 2) kategori menurut term
mana pengalaman diorganisasikan – sperti halnya parameter kebenaran dan
validitas-merefleksikan nilai dan interest kelompok, 3) Bahwa manusia
tidak mengalami realitas sebagai sesuatu yang ditafsirkan, tetapi realitas itu
dikonstruksi oleh skema konseptual (Kant), ideologi (Marx), cagar – bahasa
(Wittgenstein), atau paradigma (Kuhn).[43]
Lantas, apakah yang dimaksud
dengan melaksanakan program untuk menanamkan spirit Islam pada disiplin yang
dibentuk oleh persepsi, konsep, ideologi, bahasa dan paradigma masyarakat lain?
Apakah ini bisa dianggap sebagai Islamisasi ilmu pengetahuan ataukah Westernisasi
Islam?
Ketika Al Faruqi menyatakan
bahwa salah satu dari program Islamisasi sains adalah menemukan relevansi Islam
pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern, tampak seakan-akan ia mengerjakan
sesuatu yang terbalik, yang diistilahkan Sardar dengan putting the card
before the horse. Jadi bukan Islam yang perlu dibuat relevansi dengan ilmu
pengetahuan modern, tetapi ilmu pengetahuan modernlah yang seharusnya dibuat relevans
dengan Islam, karena Islam adalah sesuatu yang secara apriori relevans dengan
segala sesuatu.
Komentar kelima : Al-Attas juga meng”amini” pendapat
tersebut diatas. Langkah dalam kerangka kerja al-Faruqi tersebut
seolah-olah menggambarkan ada yang salah dalam ilmu pengetahuan Islam sehingga
perlu dibenarkan. Pada pendapat beliau yang tidak dibenarkan dan perlu
dibenarkan adalah ilmu pengetahuan sekuler dari Barat. Inilah yang menjadi
alasan al-Attas bahwa yang perlu diislamisasi hanyalah ilmu pengetahuan
kontemporer atau masa kini, sedangkan ilmu pengetahuan Islam tradisional hanya
diteliti sekedar untuk melihat sejauhmana penyimpangannya dari tradisi Islam
tapi bukan untuk direlevansikan terhadap ilmu pengetahuan Barat
Demikian beberapa kritik atas
pemikiran dan latar belakang gagasan Islamisasi ilmu yang diusung oleh Al
Faruqi dan pengikutnya, setidaknya data tersebut menjadi pelengkap dalam
pembahasan tentang keberadaan dan eksistensi Ismail R Al Faruqi sebagai salah
satu Tokoh Pencetus Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Riwayat Hidup
Ismail Raji Al-Faruqi lahir di
Jaffa, Palestina 1 Januari 1921. Semangat kritik ilmiahnya dan kecakapan dalam bidang
keilmuan membuat Al-Faruqi mengemukakan ide perlunya mengislamkan ilmu-ilmu
sosial kontemporer. aktifitas Al-Faruqi dan kepiawaiannya harus berakhir dengan
peristiwa yang sangat tragis, ia meningggal dunia pada tahun 1986bersama
istrinya Lamiya Al-Faruqi dalam peristiwa pembunuhan secara brutal oleh orang
yang tak dikenal, di rumah mereka Wyncote, Philadelphia. Misteri pembunuhan itu
berkaitan erat dengan kecamannya terhadap zionisme Israel serta dukungannya
kepada rakyat Palestina yang merupakan tanah airnya.
2.
Karya Al Faruqi
Diantara karya-karya Al Faruqi
adalah : Tauhid :its Imlications for Thought and file (1982), Islamization
of Knowledge: General Principle and Workplan (1982), Cristian Ethics,
Triolouge of Abraham Faits, Historical
Atlas of the Region of the World, Cultural Atlas Islam. Tulisan-tulisannya
yang lain seperti The Life of Muhammad (Philadelphia: Temple University
Press, 1973); Urubah and Relegion (Amsterdam: Djambatan,1961); Particularisme
in the Old Testament nd Contemporary Sect in Judaism (Cairo: League of
arabe States, 1963); The Great Asian Religion (New York: Macmillen, 1969)
(AI-Faruqi, 1975:XI).
3.
Pemikiran Islamisasi Al Faruqi
a. Latar belakang Islamisasi
Bahwa umat
Islam saat ini hampir di semua segi –baik politik, ekonomi, budaya, maupun
pendidikan- berada dalam keadaan yang lemah. Al Faruqi menyebut hal ini sebagai
malaise yang dihadapi sebagai efek dari “malaisme” mengakibatkan
timbulnya dualisme dalam sistem pendidikan Islam dan kehidupan umat hanya bisa
diobati dengan injeksi epistemologi. Oleh karena itu tugas utama umat Islam
adalah harus segera memecahkan problem pendidikan tersebut salah satunya dengan
islamisasi pengetahuan.
b. Pengertian Islamisasi menurut Al Faruqi
Al Faruqi mendefinisikan
islamisasi ilmu pengetahuan lebih kepada objek ilmu itu sendiri. Yaitu dengan
cara mendefinisikan kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argumen dan
rasionalisasi yang berhubungan dengan data itu, menilai kembali kesimpulan dan
tafsiran, membentuk kembali tujuan dan disiplin itu ditujukan dalam rangka
memperkaya visi dan perjuangan Islam
c. Prinsip, Tujuan dan Langkah-langkah
Islamisasi
Prinsip-prinsip islamisasi ilmu Al Faruqi berlandaskan
pada konsep Tauhid, yang tersebut ialah: Keesaan Allah, Kesatuan alam semesta, Kesatuan kebenaran dan
kesatuan pengetahuan, Kesatuan hidup, Kesatuan umat
manusia.
Tujuan menguasai disiplin-disiplin modern, menguasai
khazanah Islam, menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang
ilmu pengetahuan modern, mencari cara-cara untuk melakukan sintesa kreatif
antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern, mengarahkan pemikiran
Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Langkah-langkah Islami : pertama, penguasaan terhadap
disiplin-disiplin modern. Kedua, peninjauan disiplin ilmu modern. Ketiga, penguasaan
ilmu warisan Islam yang berupa antologi. Keempat, penguasaan ilmu warisan Islam
yang berupa analisis. Kelima, penentuan relevansi Islam yang spesifik untuk
setiap disiplin ilmu. keenam, penilaian kritis terhadap disiplin modern.
Ketujuh, penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Kedelapan, survei mengenai
problem-problem terbesar umat Islam. Kesembilan, survei mengenai
problem-problem umat manusia. Kesepuluh, analisa dan sintesis kreatif. Kesebelas,
merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja (framework)
Islam. Dan kedua belas, penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diislamkan.
d. Komentar tentang Pemikiran Al Faruqi
Pertama ada indikasi bahwa Al Faruqi banyak terpengaruh bahkan
terkesan menjiplak ide Al Attas tentang Islamisasi pengetahuan namun Al Faruqi
tidak mau mengakuinya secara langsung, sehingga kaitannya dalam memberikan
kontribusi yang ekstensif mengenai ide Islamisasi yang dia usung, timbul
pertanyaan ‘Sudahkah Al Faruqi dan pendukungnya mengakui dengan benar sumber
ide mereka dengan menyebut nama dan tulisan tertentu, yaitu Al Attas, seperti
yang telah diungkapkannya kepada mereka dalam bentuk presentasi dan
tulisan-tulisan, seperti yang biasa dilakukan semua penulis yang serius dalam
karya-karya penting mereka. Sementara itu Al Attas, menyadari bahwa beberapa ide utamanya telah
diambil tanpa pengakuan yang sewajarnya.
Kedua, S.A. Ashraf
melakukan kritik terhadap al-Faruqi Tidak seharusnya bagi sarjana muslim
memulai dengan konsep Barat tetapi dengan konsep Islam yang dirumuskan
berdasarkan prinsip yang dinukil dari al-Quran dan al-Sunnah.
Ketiga, Syed Hossein
Nasr para pemikir muslim seharusnya memadukan berbagai bentuk ilmu dalam
kerangka pemikiran mereka. Bukan hanya menerima, tetapi juga melakukan kritik
dan menolak struktur dan premis ilmu sains yang tidak sesuai dengan pandangan
Islam dan kemudian menuliskannya kedalam sebuah buku sebagaimana yang pernah
dilakukan Ibnu Sina atau Ibnu Khaldun di masa lalu.
Keempat, Islamisasi ilmu
pengetahuan menurut Faruqi harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan
sintesis tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola)
hukum Tuhan (divine pattern). Namun apa yang dilakukan Faruqi ini
mendapat kritikan tajam dari Ziauddin Sardar, menurutnya masyarakat kontemporer
telah dibentuk oleh sains; dan sains dan teknologi merupakan alat utama dari
imperialisme epitemologi Barat.
Kelima, Langkah
dalam kerangka kerja al-Faruqi tersebut seolah-olah menggambarkan ada yang
salah dalam ilmu pengetahuan Islam sehingga perlu dibenarkan. Pada
pendapat beliau yang tidak dibenarkan dan perlu dibenarkan adalah ilmu
pengetahuan sekuler dari Barat.
ANALISA
Islamisasi Ilmu
Pengetahuan muncul dari proses dialektika yang panjang dari pemikir-pemikir
muslim, salah satunya adalah Ismail R Al Faruqi salah satu Tokoh penggagas ide
ini dengan langkah-langkah yang konkrit untuk mewujudkan tujuan gagasan
tersebut pada dasarnya adalah sama yaitu untuk mencegah penyebaran lebih
luas "virus-virus" Westernisasi yang terkandung dalam ilmu
pengetahuan modern (sains Barat).
Walaupun masih
menjadi perdebatan sampai saat ini tentang apa yang dimaksud dengan Islamisasi
ilmu pengetahuan dan langkah-langkah ideal yang harus dilakukan maupun ilmu
pengetahuan yang harus di Islamisasi karena setiap pemikir Muslim memiliki
konsepnya masing-masing, pun adanya kontroversi dan kritik terkait keberadaaan
dan gagasan Islamisasi yang diusung Ismail R Al Faruqi sebagai salah satu (yang
dianggap) Tokoh penggagas Islamisasi Sains, tapi menurut hemat penulis itu bukan persoalan
yang penting. Hal mendesak yang harus dilakukan sekarang adalah merealisasikan
gagasan itu sendiri, sehingga gagasan Islamisasi tidak terhenti dan hanya
menjadi sebuah wacana yang berkembang dan selalu menimbulkan perdebatan. Karena
disadari atau tidak, proses westernisasi terus berkembang di dunia Muslim tanpa
ada usaha yang jelas untuk menghentikannya atau sekedar
menfilternya.
Dan
apresiasi luar biasa kepada Ismail R Al Faruqi atas gagasannya yang bisa
dijadikan sumber rujukan untuk menyikapi virus westernisasi Sains Barat
sehingga semakin memperkaya khazanah intelektual Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A.Khudori Soleh, 2004, Wacana
Baru Filsafat Islam, Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Azyumardi Azra, 1996, Pergolakan
Politik Islam dari Fundamentalisme Modern hingga Post Modernisme,
Jakarta:Paramadina.
Budi Harjanto, 2010, Islamisasi sains, Sebuah upaya
Mengislamkan Sains Barat Modern, Jakarta: Al Kautsar.
Kafrawi Ridwan (Ed), 1993, Ensiklopedia Islam, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Houve.
Mudjia Raharjo, ed, 2006, Quo
Vadis Pendidikan Islam, Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan
Keagamaan, Malang:Uin Malang Press.
Mujamil Qomar, 2005, Epistemologi
Pendidikan Islam dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik,
Jakarta:Erlangga.
Panjiman, No.504 Edisi MEI 1986
Rosnani
Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah,
Perkembangan, dan Arah Tujuan”, Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005)
Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003,
Filsafat dan praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas,
Bandung:Mizan.
Zainal Habib, 2007 Islamisasi Sains, Mengembangkan Integrasi,
Mendialogkan Prespektif , Malang:Uin Malang Press
Ziauddin Sardar, 1998, Jihad
Intelektual: Merumuskan Parameter Sains Islami Surabaya: Risalah Gusti.
[1] Mudjia Raharjo, ed,. Quo Vadis Pendidikan Islam,
Pembacaan Realitas Pendidikan Islam, Sosial dan Keagamaan, (Malang:Uin
Malang Press, 2006), h. 220
[2] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari
Metode Rasional Hingga Metode Kritik, (Jakarta:Erlangga, 2005), h.116
[3] Lihat Ummi, Islamisasi Sains Perspektif UIN Malang,
dalam Inovasi: Majalah Mahasiswa UIN Malang, Edisi 22. Th. 2005, 25.
[8] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari
Fundamentalisme Modern hingga Post Modernisme, (Jakarta:Paramadina, 1996),
h. 50
[12] Zainal Habib, Islamisasi
Sains, Mengembangkan Integrasi, Mendialogkan Prespektif (Malang:Uin Malang
Press, 2007), h. 51 atau Lihat karya Al Faruqi, Islamisasi pengetahuan,
masalah I, h. 1-2
[13] Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Mahyudin,(Bandung:Pustaka, 1995)
h.
40
[18] Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan
Parameter Sains Islami ( Surabaya: Risalah Gusti, 1998), h. 44-45
[21] Victoria Neufeld (Ed.), Websters New World Dictionary
(Cleveland & New York: Websters New World, 1988), h. 715
[22] Budi
Harjanto, Islamisasi sains, Sebuah upaya Mengislamkan Sains Barat Modern,
(Jakarta: Al Kautsar, 2010), h.125
[23]Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan”,
Islamia, THN II NO.6 (Juli-September, 2005), h.
35-36
[24] Tauhid merupakan sumber kebenaran
dalam islam (the source of Islam). lihat dalam Ismail Raji Al-Faruqi, Tuhid;
Its Implication..., p. 53-54
[28] Kamaruddin Hidayat & wahyuni Nafis, Agama Masa
Depan Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta:UI Press, 1995), h. 113
[36] Thaha Jabir Al Alwani, “ Islamization of Methodology,
h. 238., dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan praktek Pendidikan Islam
Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung:Mizan,2003), h. 393
[37] Lihat, Wan Mohd Nor
Wan Daud, Filsafat dan praktek
Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, (Bandung:Mizan,2003), h. 393
[38] Ibid, lihat Wan Mohd Nor
Wan Daud, beberapa pemikiran dan karya Al Faruqi yang terimplikasi dari Al Attas,
h. 392-401
[39] CEII, h.
Vii. Sesudah hampir 15 tahun, masih tidak ada pengakuan yang dilakukan, Al
Attas merasa terpaksa untuk menyebutkan secara singkat bagaimana ide islamisasi
ilmu pengetahuan masa kini telah diambil oleh Al Faruqi. Lihat IS, cet.II,
h. Xii, catatan no.4, dalam ibid, Wan Mohd Nor Wan Daud, h. 410
[40] Ibid, Rosnani
Hasim, Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah,
Perkembangan, dan Arah Tujuan), h. 40
[41] Ibid, Rosnani Hasim, Gagasan Islamisasi
Ilmu Pengetahuan Kontemporer: Sejarah, Perkembangan, dan Arah Tujuan), h. 41
[42] Iwan Tri
Yuwono, “Metodologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan:Orientasi Masa Depan”, Majalah
Salam, Tahun II, 1988 h. 88 dalam Zainal Habib, Op. Cit, h. 54
[43]Ibid,
Ziauddin sardar, h. 89
No comments:
Post a Comment