A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Teori kognitif adalah bagian
terpenting dari sains kognitif yang telah memberi kontribusi yang sangat
berarti dalam perkembangan psikologi belajar. Dalam perspektif psikologi
kognitif belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan behavioral yang
bersifat jasmani, meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata
dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah seorang anak yang
sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat
jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata-kata dan
menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan
pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respon atas stimulus yang
ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh
otaknya.
Hal senada juga disampaikan oleh
Riyanto[1] Teori
belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses
belajar itu sendiri. Belajar tidak hanya sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berfikir yang
sangat komplek. Menurut teori ini ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang
individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan.
Proses ini tidak berjalan terpisah tetap mengalir, dan menyeluruh.
Pendekatan psikologi kognitif lebih
menekankan arti penting proses internal, mental manusia, tingkah laku manusia
yang tampak tidak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibakan proses mental,
seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan dan sebagainya.
Piaget, seorang pakar psikologi kognitif menyimpulkan bahwa :....children have a built in desire to learn (Barlor, 1985).[2] Artinya bahwa semenjak kelahirannya, setiap anak manusia memiliki kebutuhan yang melekat dalam dirinya sendiri untuk belajar.
Membicarakan
tentang teori belajar kognitif maka tidak terlepas dari beberapa tokoh ahlinya,
maka dari itu dalam makalah ini akan dijelaskan lebih detail tentang pandangan
ahli kognitif mengenai teori belajar dan aplikasi teori tersebut dalam proses
pembelajaran.
2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakan diatas, setidaknya terdapat beberapa
permalsalahn yang muncul dan menarik untuk dikaji lebih jauh lagi yakni:
a.
Bagaimana
teori belajar menurut pandangan ahli kognitif?
b.
Bagaimana
aplikasi teori belajar tersebut dalam proses pembelajaran?
3.
Tujuan
Pembahasan
a.
Mendiskripsikan
teori belajar menurut pandangan ahli kognitif
b.
Mendiskripsikan
tentang aplikasi teori tersebut dalam proses pembelajaran.
B. PEMBAHASAN
1.
Teori Belajar menurut
Gestalt
Dalam aliran
ini ada beberapa istilah yang artinya sama, ialah : field, pattern,
organism, intergration, wholistic, configuration, closures, dan gestalt
yang bermakna bentuk yang utuh, pola, kesatuan, dan keseluruhan lebih berarti
dari bagian-bagian.[3] Karena itu psikologi gestalt seringyan disebut
psikologi organisme atau field theory[4]
atau insight full learning.[5] Melihat nama teori dan aliran psikologi
yang mendasarinya, yakni Psikologi Gestalt, maka jelaslah kiranya teori ini
berbeda dengan teori belajar yang lainnya. Menurutnya manusia itu adalah
individu dan pribadi yang tidak secara langsung bereaksi kepada suatu
rangsangan, dan tidak pula reaksinya dilakukan secara membabi buta melainkan
tergantung stimulus dan apa motif yang ada padanya.
Teori
psikologi Gestalt sangat berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar. Oemar
Hamalik[6]
menyebut beberapa prinsip yang perlu mendapat perhatian, adalah sebagai
berikut:
a)
Tingkah laku terjadi berkat
interaksi antara individu dan lingkungannya, faktor herediter (natural
endowment) lebih berpengaruh.
b)
Bahwa individu berada dalam keadaan keseimbangan
itu akan mendorong terjadinya tingkah laku.
c)
Mengutamakan aspek pemahaman (insight)
terhadap situasi problematis.
d)
Menitikberatkan pada situasi sekarang, dimana individu menemukan
dirinya.
e)
Belajar dimulai dari keseluruhan dan
bagian-bagian hanya bermakna dalam keseluruhan itu.
Menurut Gestalt, semua kegiatan belajar itu
menggunakan insight atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan, mampu
menangkap makna dari hubungan antar hubungan yang satu dengan yang lainnya,[7]
insight juga dimaknai didapatkannya pemecahan problem, dimengertinya persoalan[8]
inilah konsep terpenting dalam teori Gestalt, bukan mengulang-ulang hal yang
harus dipelajari, melainkan dimenegrtinya, mendapatkan insight.
Ada enam macam sifat khas belajar dengan insight,[9]
sebagai berikut: 1) insight tergantung kepada kemampuan dasar. 2) insight
tergantung pengalaman masa lampau yang relevan. 3) insight tergantung kepada
pengaturan secara eksperimental, 4) insight didahului oleh suatu periode
mencoba-coba, 5) belajar dengan insight dapat diulangi, 6) insight yang telah
sekali didapatkan dapat dipergunakan untuk menghadapi situasi-situasi yang
baru.
Selain teori insight, teori gestalt juga menekankan
pentingnya organisasi pengamatan terhadap stimuli di dalam lingkungan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan. Kemudian disusun hukum-hukum
gestalt yang berhubungan dengan pengamatan (Fudyartanto, 2002)[10]
sebagai berikut :
1)
Hukum Pragnanz : bahwa organisasi
psikologi selalu cenderung untuk bergerak ke arah penuh arti (pragnaz),
2)
Hukum kesamaan (the law of
similarity) menyatakan bahwa hal-hal yang sama cenderung membentuk gesalt
atau kesatuan,
3)
Hukum keterdekatan (the law of
proximity) menyatakan bahwa hal-hal yang saling berdekatan cenderung
membentuk kesatuan,
4)
Hukum ketertutupan (the law of
closure) menyatakan bahwa hal-hal yang tertutup cenderung membentuk gestalt,
5)
Hukum kontinuitas menyatakan bahwa
hal-hal yang kontinu atau yang merupakan kesinambungan (kontinuitas)yang baik
akan mempunyai tendensi untuk membentuk kesatuan.
Secara
singkatnya menurut Purwanto[11]
belajar menurut pikologi Gestalt adalah. Pertama, dalam belajar faktor
pemahaman atau pengertian (insight) adalah faktor penting, dengan belajar dapat
memahami / mengerti hubungan antara pengetahuan dan pengalaman. Kedua, dalam belajar pribadi atau organisme memegang
peranan yang paling sentral. Karena tidak hanya secara reaktif-mekanistis saja,
namun tetap dilakukan dengan sadar, bermotif dan bertujuan.
Pada
dasarnya setiap tingkah laku seseorang selalu didasarkan pada kognisi, yaitu
tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku tersebut
terjadi. Dalam pelaksanaan pembelajarannya guru tidak memberikan potongan atau
bagian bahan ajar, tetapi selalu satu kesatuan yang utuh dimana anak harus
menemukan bagian tersebut sehingga menjadi utuh.
2.
Teori Belajar menurut Piaget
Jean Piaget
(1896-1980) adalah psikolog perkembangan dari Swiss yang tertarik dengan
pertumbuhan kapasitas kognitif manusia. Menurutnya perkembangan kognitif adalah
hasil gabungan dari kedewasaan otak dan sistem saraf, serta adaptasi pada
lingkungan kita. Menurut Piaget (Uno, 2006:10-11) dalam Mohamad Thobroni,[12]
salah seorang penganut kognitif yang kuat, proses belajar sebenarnya terjadi
dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbang). Asimilasi
adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur
kognitif yang sudah ada dalam bentuk siswa. Akomodasi adalah penyesuaian
struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Ekuilibrasi adalah
penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi, di sumber yang
lain disebutkan 2 tahapan lagi yakni Skema dan Adaptasi.[13]
Skema adalah struktur mental,
pola berpikir yang orang gunakan untuk mengatasi situasi tertentu di
lingkungannya, menangkap apa yang mereka lihat dan membentuk skema yang tepat
dengan situasi. Adaptasi adalah proses menyesuaikan pemikiran dengan
memasukkan informasi baru ke dalam pemikiran individu.
Peaget
berpendapat bahwa proses belajar harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan
kognitif yang dilalui siswa. Tahapan tersebut dibagi menjadi empat tahap,
yaitu, 1) Tahap Sensori Motor (0-2 tahun), seorang anak belajar mengembangkan
dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang
bermakna. 2) Tahap Pra-operational (2-7 tahun), seorang anak masih sangat
dipengaruhi pleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indra
sehingga ia belum mampu untuk melihat hubungan – hubungan dan menyimpulkan
sesuatu secara konsisten. 3) Tahap Operasional Konkret (7-11 tahun), seorang
anak dapat membuat kesimpulan dari sesuatu pada situasi nyata atau dengan
menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari situasi
nyata secara bersama-sama. 4) Tahap Operasional Formal (11 tahun ke atas),
kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Pada tahap
ini, kemampuan menalar secara meningkat sehingga seseorang mampu untuk berpikir
secara deduktif, pada tahap ini pula, seorang mampu mempertimbangkan beberapa aspek
dari situasi secara bersama-sama. Yang perlu diingat, umur yang tercantum
diatas adalah hasil penelitian Piaget di negaranya, tapi setidaknya patokan
umur tersebut bisa kita jadikan pedoman.
Piaget juga
mengemukakan selain tahapan tersebut diatas, perkembangan kognitif seorang anak
juga dipengaruhi oleh kematangan dari otak sistem saraf anak, interaksi anak
dengan objek-objek di sekitarnya (pengalaman fisik), kegiatan mental anak dalam
menghubungkan pengalamannya kerangka kognitifnya (pengalaman fisik), kegiatan
mental anak dalam menghubungkan pengalamannya dengan kerangka kognitifnya
(pengalaman logico mathematics), dan interaksi anak dengan orang-orang di
sekitarnya. Berangkat dari hal tersebut, pengikut Piaget menyakini bahwa
pengalaman belajar aktif cenderung meningkatkan perkembangan kognitif,
sedangkan pengalaman belajar pasif cnderung mempunyai akibat yang leih sedikit
dalam meningkatkan perkemabngan kognitif anak. Aktif dalam arti bahwa siswa
melibatkan mentalnya selama memanipulasi benda-benda konkrit.
3.
Teori Belajar menurut Vigotsky
Lev
Semyonovic Vigotsky dilahirkan di Rusia pada 1896. Ia berasal dari keluarga
Yahudi yang terpelajar, pada usia 15 tahun ia dijuluki profesor cilik karena
reputasinya dalam memimpin diskusi-diskusi mahasiswa. Vygotsky memperoleh gelar
sarjana dalam bidang hukum dari Moscow University. Ia juga menggeluti literatur
linguistik, kesenian, ilmu sosial, dan filsafat. Ia kemudian tertarik dalam
bidang psikologi, dan menjadi pelopor teori belajar yang berbasis pada perkembangan
sosial. Selama bekerja di bidang psikologi di negara bagian barat Rusia, ia
menemukan anak-anak yang cacat sejak lahir, buta, tuli, dan terbelakang mental.
Kemudian mencari cara untuk mengatasi masalah potensial anak-anak dengan isu
dalam perkembangan kognitif.
a.
Pokok-pokok teori Vygotsky
Proses belajar menurut Vigotsky terjadi dalam wilayah Zone Proximal
Development (ZPD), yakni wilayah antara apa yang diketahui dan apa yang belum
diketahui.[14]
Vigotsky mendefinisikannya untuk tugas-tugas yang sulit dikuasai sendiri oleh
siswa, tetapi dapat dikuasai dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa atau
siswa yang lebih terampil (Santrock, 1995 dalam Rita Eka Izzati dkk).[15]
Vygotsky berfokus pada koneksi antara orang-orang dan konteks budaya di mana
mereka bertindak dan saling berhubungan atau saling berbagi pengalaman. Menurutnya
manusia menggunakan tools yang bersumber dari suatu kultur, termasuk bahasa
lisan dan tulisan yang dimediasi oleh lingkungan sosial. Dia juga percaya bahwa
pada awalnya anak-anak mengembangkan tools ini untuk melayani fungsi sosial,
dan mengomunikasikan kebutuhan-kebutuhannya. Internalisasi nilai-nilai budaya
melalui interaksi sosial mendorong kemampuan dan keterampilan berpikir.
Kemampuan berpikir dan berbicara/bahasa tidak dapat eksis tanpa pergaulan
sosial.
Ketika Pieget mengobservasi anak-anak muda yang berpartisipasi dalam suatu
percakapan egosentris, ia menganggapnya bahwa anak tersebut berada dalam fase
preoperational. Sebaliknya, Vigotsky memandang egosentris bahasa dan percakapan
semacam itu sebagai transisi dari proses sosial dalam bahasa ke pemikiran
internal.(Driscoll, 1994). Menurutnya ada hubungannya antara berfikir dengan
bahasa.[16]
Bahasa dan berpikir mulanya adalah
independen satu dengan lainnya. Dalam bentuknya paling awal bahasa berfungsi
untuk mengeskpresikan perasaan dan fungsi sosial lain, wujudnya menangis,
berteriak, mengeluh, bersorak, dan semacamnya, ia menyebutnya thoughtless
language. Dalam bentuknya paling awal berfikir berfungsi untuk memecahkan
masalah, di mana berfikir tanpa bahasa (languageless thought).
Sebagaimana halnya Pieget, sebagai ahli psikologi kognitif, Vigotsky,
sebagai seorang pakar psikologi kognitif berorientasi pada pengembangan
kognitif dan gagasan tentang peran budaya dan aplikasinya secara langsung dalam
proses belajar mengajar di kelas.
b.
Aplikasi teori Vigotsky dalam
Pendidikan
Perkembangan kognitif menurut Vygotsky dipengaruhi oleh faktor budaya. Vigotsky
memandang bahwa interaksi sosial berperan secara fundamental dalam perkembangan
kognitif. Vygotsky menyatakan bahwa setiap fungsi perkembangan budaya
berpengaruh trhadap perkembangan anak pada level sosial, dan individual. Pada
level sosial, anak berinteraksi dengan dunia sekitarnya, saling pengaruh antara
satu dengan lainnya (interpsikologis), dan pada level individual, aspek
psikologi berpengaruh terhadap perkembangan anak (intrapsikologis).
Aspek kedua dari teori Vygotsky adalah gagasan bahwa secara potensial
perkembangan kognitif anak terbatas pada suatu rentang waktu tertentu yang
disebut wilayah perkembangan proksimal (zone of proximal development). Vygotsky
yakin bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani
tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-tugas tersebut berada dalam ZPD,
ia mendefinisikan ZPD sebagai suatu daerah aktivitas di mana individu dapat
melayari dengan bantuan dari teman sebaya yang lebih mampu, orang dewasa atau
artefak-artefak. ZPD tergantung pada interaksi sosial, pengaruh orang dewasa
dan / atau kolaborasi anak dengan teman sebaya. Interaksi dengan teman sebaya,
perancah (scaffolding), dan modeling merupakan faktor penting yang
memfasilitasi perkembangan kognitif dan pemerolehan pengetahuan individu,
termasuk dalam perkembangan bahasa. ZPD bertujuan ,mendukung pembelajaran
secarta intensional. Pendekatan sosiokultural Vygotsky tentang belajar dan ZPD
dapat dengan sukses diaplikasikan dalam studi kolaboratif, khusunya dalam
kegiatan belajar kelompok dengan penggunaan alat bantu komputer atau Computer
supported collaborative Learning (CSCL). [17]
Teori sosiokultural Vygotsky menekankan pentingnya perkembangan kecerdasan/
intelegensi melalui kultur masyarakat. Perkembangan individu terjadi melalui
dua tahap, yaitu dimulai dengan pertukaran sosial antarpribadi (interaksi
dengan lingkungan sosial) kemudian terjadi internalisasi intrapersonal. Selanjutnya, ketrampilan
individu dapat dikembangkan melalui interaksi individu dengan bantuan atau
bimbingan orang dewasa (guru) dan kolaborasi dengan teman sebaya. Teori ini
pada awalnya di aplikasikan dalam konteks belajar bahasa bagi anak. Namun,
kemudian diaplikasikan dalam konteks perkembangan kognitif dan proses belajar
secara lebih luas.
Teori Vygotsky berfokus pada 4 hal pokok, yakni pengaruh interaksi sosial
dalam perkembangan, scaffolding (perancah atau pemberian bantuan),
modeling, zone of proximal development (perbedaan antara apa yang dapat
dikerjakan sendiri oleh anak dan apa yang dapat dikerjakan dengan bantuan orang
lain). Vygotsky memandang bahwa model pembelajaran kooperatif yang sarat dengan
nilai-nilai budaya, dan scaffolding atau pemecahan masalah yang berfokus pada
anak (student centered education) merupakan faktor utama perkembangan
kognitif. Model pembelajaran kooperatif menekankan interaksi sosial dalam upaya
pengembangan kehidupan sosial dalam wilayah perkembangan proksimal anak.
Perbedaan utama dalam pendekatan Piaget dan Vygotsky adalah Piaget
membuktikan bahwa anak-anak memperoleh keuntungan dari eksplorasi dan penemuan yang diprakarsai
sendiri dari metode-metode pengajaran yang merespon tingkat pemahaman mereka, sementara
Vygotsky menekankan peran orang dewasa
dalam memimpin perkembangan, yaitu bukan hanya mencocokkan lingkungan
pembelajaran melainkan juga membuat lingkungan dimana para peserta didik dengan
bantuan orang lain disekitarnya dapat memperluas dan meningkatkan pemahaman
mereka saat itu.
4.
Multiple Intelegent
Teori
intelegensi ganda (Multiple Intelegent) ditemukan dan dikembangkan oleh
Howard Gardner dalam bukunya Frame of Minds tahun 1983 dari hasil
penelitiannya tentang kapasitas kognitif manusia.[18]
Ia menolak asumsi bahwa kognisi manusia merupakan satu kesatuan dan individu
hanya mempunyai kecerdasan tunggal. Meskipun sebagian besar individu
menunjukkan penguasaan yang berbeda, individu memiliki beberapa kecerdasan dan
bergabung menjadi satu kesatuan membentuk kemampuan pribadi yang cukup tinggi.
Gardner adalah seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan dari
Graduate School of Education, Harvard University, Amerika Serikat. Gardner
mendefinisikan intelegensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan
menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi
yang nyata.[19]
Intelegensi tidak sekedar mengenai kemampuan seseorang untuk menjawab soal-soal
tes IQ tetapi lebih jauh dari itu intelegensi memuat kemampuan seseorang untuk
memecahkan persoalan yang nyata dan dalam situasi yang bermacam-macam,[20]kemampuan
mengembangkan pengetahuannya sendiri dan
sangat sensitif dalam berusaha menemukan jati dirinya.[21]
Gardner
membagi kecerdasan manusia dalam 9 kategori[22]
namun di sumber yang lain disebutkan bahwa penelitian Gardner
mengidentifikasikan 8 macam kecerdasan, kemudian diikuti tokoh-tokoh lain
dengan menambahkan 2 kecerdasan lagi sehingga menjadi sepuluh macam kecerdasan.[23]
Yakni :
1)
Kecerdasan Bahasa (Verbal Linguistic
Intelligences)
Kecerdasan
bahasa merupakan kecakapan berpikir melalui kata-kata, menggunakan bahasa untuk
menyatakan, dan memaknai arti yang kompleks. Orang yang unggul dalam kecerdasan
bahasa : penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, dan orator.
2)
Kecerdasan Matematis (Logical
Mathematical Intelligence)
Kecerdasan matematis merupakan kecakapan untuk
menghitung, mengualitatif, merumuskan proposisi, hipotesis, serta memecahkan
perhitungan-perhitungan matematis yang kompleks. Mereka adalah : para ilmuwan,
ahli matematis, akuntan, insinyur, dan pemograman komputer.
3)
Kecerdasan ruang (Visual-Spatial
Intelligence)
Kecerdasan ruang merupakan kecakapan berpikir dalam
ruang tiga dimensi. Orang yang unggul dalam kecerdasan ini mampu menangkap
bayangan ruang internal dan eksternal untuk penentuan arah dirinya atau benda
yang dikendalikan, mengubah, dan menciptakan karya tiga dimensi nyata. Yakni :
pilot, nahkoda, astronot, pelukis, arsitek.
4)
Kecerdasan Kinestetik/Gerak Fisik
(Kinesthetic Intelligence)
Kecerdasan kinestetik merupakan kecakapan untuk
melakukan gerakan dan ketrampilan, kecakapan fisik, seperti olahraga, contoh:
penari, olahragawan, perajin profesional.
5)
Kecerdasan Musik (Musical Intelligence)
Kecerdasan musikal adalah kecakapan yang dimiliki
seseorang untuk menghasilkan dan menghargai musik, sensitif terhadap melodi,
ritme, nada, dan tangga nada. Yaitu: komponis, dirigent, musisi, kritikus,
penyanyi, kritikus musik, dan pembuat instrumen musik.
6)
Kecerdasan Hubungan Sosial
(Interpersonal Intelligence)
Kecerdasan hubungan sosial adalah kecakapan memahami,
dan merespons serta berinteraksi dengan orang lain dengan tepat, watak,
temperamen, motivasi, dan kecenderungan terhadap orang lain. Contoh : guru,
konselor, aktor dan politikus.
7)
Kecerdasan Keruhanian (Intrapersonal
Intelligence)
Kecerdasan keruhanian adalah kecakapan untuk memahami
kehidupan emosional, membedakan emosi orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan
dan kelemahan diri. Kecakapan ini membentuk persepsi yang tepat terhadap orang,
menggunakannya dalam merencanakan, dan mengarahkan kehidupan yang lain. Contoh
: psikolog, psikiater, filsuf, ruhaniawan.
8)
Kecerdasan Naturalis
Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk mengenali,
membedakan, mengungkapkan, dan membuat kategori terhadap apa yang dijumpai di
alam maupun lingkungan. Intinya adalah kemampuan manusia untuk mengenali
tanaman, hewan, dan bagian lain dari alam semesta.
9)
Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual banyak dimiliki oleh para
ruhaniawan. Kecerdasan ini berkaitan dengan bagaimana manusia berhubungan
dengan Tuhannya. Kecerdasan ini dapat dikembangkan pada setiap orang melalui
pendidikan agama, kontemplasi kepercayaan, dan refleksi teologis.
10) Kecerdasan Eksistensial (Existensialist Intelligence)
Kecerdasan eksistensial banyak dijumpai pada filsuf. Mereka mampu menyadari
dan menghayati dengan benar keberadaan dirinya di dunia ini dan apa tujuan
hidupnya. Melalui kontemplasi dan refleksi diri, kecerdasan ini dapat
berkembang.
Pada dasarnya semua orang memiliki semua
macam kecerdasan di atas, namun tentu saja tidak semuanya berkembang atau
dikembangkan pada tingkatan yang sama sehingga tidak dapat digunakan secara efektif.
Pada umumnya, salah satunya menonjol atau kuat daripada yang lain, akan tetapi
tidak berarti bahwa hal itu permanen melainkan bisa berubah karena dalam diri
manusia tersedia kemampuan untuk mengaktifkan semua kecerdasan tersebut. Berkenaan
dengan hal itu ada beberapa faktor yang mempengaruhi inteligensi antara lain:[24]
1) faktor pembawaan, 2) faktor minat dan pembawaan yang khas, 3) faktor
pembentukan, 4) faktor kematangan, 5) faktor kebebasan. Yatim Riyanto[25]
dalam bukunya juga menyebutkan beberapa hal yang mempengaruhi maju atau
mundurnya kecerdasan yakni : 1) akses ke sumber daya atau mentor, 2) faktor
historis-kultural, 3) faktor geografis, 4) faktor keluarga, 5) faktor
situasional, kesemua faktor itu saling
berkaitan satu sama lain.
Seiring dengan
hal itu ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam teori kecerdasan
ganda, yaitu bahwa : 1) setiap orang memiliki semua kecerdasan-kecerdasan itu,
2) banyak orang dapat mengembangkan masing-masing kecerdasannya sampai ke
tingkat optimal, 3) kecerdasan biasanya bekerja bersama-sama dengan cara yang
unik, 4) ada banyak cara untuk menjadi cerdas.
Keabsahan munculnya teori kecerdasan
majemuk adalah; 1) memiliki dasar biologis, 2) bersifat universal bagi spesies
manusia, 3) nilai budaya suatu keterampilan, 4) memiliki basis neurologi, 5) dapat dinyatakan dalam
bentuk simbol.
Ada beberapa strategi pembelajaran untuk
mengembangkan kecerdasan ganda, yaitu : 1) membangunkan / memicu kecerdasan,
yaitu upaya untuk mengaktifkan indera dan menghidupkan kerja otak, 2)
memperkuat kecerdasan, yaitu dengan cara memberi latihan dan memperkuat
kemampuan membangunkan kecerdasan, 3) mengajarkan dengan atau untuk kecerdasan,
yaitu upaya- upaya mengembangkan struktur pelajaran yang mengacu pada
penggunaan kecerdasan ganda, 4) mentransfer kecerdasan, yaitu usaha
memanfaatkan berbagai cara yang telah dilatihkan di kelas untuk memahami
realitas di luar kelas atau pada
lingkungan nyata. Di samping itu diungkapkan pula beberapa prinsip untuk
membantu mengembangkan intelegensi ganda,[26]
yaitu : 1) pendidikan harus memperhatikan semua kemampuan intelektual, 2)
pendidikan seharusnya individual, 3) pendidikan harus dapat memotivasi siswa untuk menentukan tujuan dan program
belajar. 4) sekolah memberikan fasilitas kepada siswa untuk mengembangkan
inteligensi ganda yang mereka miliki. 5) evaluasi proses pembelajaran harus
lebih kontekstual dan bukan hanya tes
tertulis yakni lebih menekankan penilaian performa siswanya. 6) proses pembelajaran
sebaiknya tidak dibatasi hanya dalam gedung sekolah.
Pendidikan/pembelajaran kecerdasan ganda
berorientasi pada pengembangan potensi anak, bukan berorientasi pada idealisme
guru atau orangtua, apalagi ideologi politik. Anak berkembang agar mampu membuat
penilaian dan keputusan sendiri secara tepat, bertanggungjawab, percaya diri,
mandiri tidak bergantung pada orang lain, kreatif, mampu berkolaborasi, serta
dapat membedakan mana yang baik dan tidak baik.
5.
Teori Memproses Informasi
(information processing theory)
Information
processing model memandang memori manusia itu seperti sebuah komputer yang
mengambil atau mendapatkan informasi, mengelolanya, mengubahnya baik bentuk dan
isi, kemudian menyimpannya, dan menghadirkan kembali pada saat dibutuhkan.[27]
Kegiatan memproses informasi itu meliputi mengumpulkan dan dan menghadirkan
informasi (encording), menyimpan informasi (storage), mendapatkan
informasi, dan menggali informasi kembali pada saat dibutuhkan (retrival).
Information processing adalah sebuah pendekatan dalam belajar yang mengutamakan
berfungsinya memory.
Executive Control Processor
|
Stimulus
|
Sensory memory
|
Short Term Memory
Working Memory
|
Perception
|
Learn (Save)
|
Long Term Memory
|
Retrieve (Activate memories)
|
Ada beberapa
hal yang perlu diketahui dalam memproses informasi yakni; Sensory memory
atau sensecory register merupakan komponen pertama dalam sistem memori. Sensory
memory menerima informasi atau stimuli dari lingkungan secara terus menerus
melalui alat-alat penerima (receptors) kita. Receptors adalah
sebuah mekanisme tubuh untuk melihat, mendengar, merasakan (tasting), membau,
meraba, dan perasaan (feeling). informasi yang diterima tersebut untuk
beberapa saat disimpan dalam sensory memory selama kurang leih dua
detik. Sensory memory memiliki dua implikasi dalam proses belajar. Pertama,
orang harus memberikan perhatian pada informasi yang ingin diingatnya. Kedua,
waktu mendapatkan atau mengambil informasi harus dalam keadaan sadar.
Perception
Setelah
stimuli diterima oleh sensory memory. Otak kita mulai bekerja untuk memberi
makna terhadap informasi atau rangsangan tersebut, proses ini disebut
memersepsi. Persepsi manusia terhadap informasi yang diterimanya berdasarkan
realita objek yang mereka tangkap dan pengetahuan yang telah dimiliki
sebelumnya. Persepsi terhadap stimuli bisa saja tidak seasli atau semurni
stimuli sebenarnya. Hal ini terjadi karena pada saat seseorang memersepsi
sebuah stimuli ia dipengaruhi oleh kondisi mental, pengalaman-pengalaman
sebelumnya, motivasi-motivasi, pengetahuan, dan berbagai macam faktor lainnya, pertama,
kita cenderung membedakan stimuli sesuai aturan-aturan yang berbeda dengan
karakteristik yang ada dalam stimuli tersebut. Kedua, manusia tidak
merekam stimuli yang ia terima seperti ia melihat atau merasakannya, tetapi
seperti apa yang mereka ketahui atau asumsikan.
Short term
memory, mengutip pendapat Glanzer (1982), Slavin (1994) dalam Baharudin dan Esa
Nur Wahyuni[28]
menyatakan bahwa infomasi yang diterima oleh seseorang dan mendapatkan
perhatian kemudian dikirim ke dalam komponen yang kedua dari sistem memori,
yaitu short term memory. Short term memory adalah sebuah sistem
penyimpanan yng dapat menyimpan sejumlah informasi yang terbatas untuk beberapa
detik. Short term memory adalah bagian dari memory di mana informasi yang ada
menjadi pikiran-pikiran yang dismpan. Pikiran-pikiran tersebut adalah kesadaran
yang kita berikan terhadap beberapa momen dan disimpan dalam short term memory.
Jika kita berhenti berpikir tentang sesuatu, maka pikiran tentang sesuatu akan
dikeluarkan dari short term memory.
Long Term
Memory
Long term
memory adalah bagian dari sistem memori manusia yang menyimpan informasi untuk
sebuah periode yang cukup lama, diperkirakan memiliki kapasitas yang sangat
lama untuk menyimpan informasi.
Perbedaan
short term memory dan long term memory
Tipe memori
|
Input
|
Kapasitas
|
Durasi
|
Isi
|
Memanggil kembali
|
Short term memory
|
Sangat cepat
|
Terbatas
|
Sangat singkat 20-30 detik
|
Kata, gambar, ide, kalimat
|
Segera
|
Long term memory
|
Relatif lambat
|
Tidak terbatas
|
Tidak terbatas
|
Kalimat, skemata, produksi,
episodik, gambar-gambar
|
Tergantung penghadiran kembali dan
organisasi
|
Para ahli
kognitivisme membagi long term memory menjadi tiga bagian[29]
: episodic memory adalah memori
pengalaman personal manusia yang memuat sebuah gambar secara mental tentang
segala sesuatu yang manusia lihatatau dengar. Semantict Memory adalah memori yang berisi ide-ide atau
konsep-konsep yang berkaitan dengan skema. Menurut Piaget skema adalah kerangka
kerja kognitif individu yang berguna untuk mengorganisasi persepsi dan
pengalaman-pengalaman. Procedural
memory adalah memori yang berkaitan
dengan sesuatau yang bersififat prosedural sehingga mampu untuk menghadirkan
kembali bagaimana segala sesuatu dikerjakan, khususnya yang berkaitan dengan
tugas-tugas yang bersifat spesifik.
M. Dimyati
Mahmud[30]
mengemukakan beberapa aplikasi teori pemrosesan Informasi yakni:
a.
Guru hendaknya yakin bahwa para
siswa menunjukkan perhatian.
b.
Guru hendaknya membantu siswa untuk membedakan
hal-hal yang penting dan yang tidak penting serta memusatkan diri pada
informasi yang paling penting.
c.
Bantulah para siswa menghubungkan
informasi yang baru dengan apa yang telah diketahuinya.
d.
Sediakan waktu untuk mengulang dan
memeriksa kembali informasi.
e.
Sajikanlah bahan pelajaran secara
tersusun dan jelas.
f.
Utamakanlah makna pelajaran, bukan
memorisasi
6.
Aplikasi Teori Kognitif dalam
Pembelajaran
Misi dari pemerolehan pengetahuan
melalui strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh,
menganalisis, dan mengolah informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan
masalah.[31]Menurut
teori belajar kognitif, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari
pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya siswa harus aktif secara mental
membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang
dimilikinya. Proses pembelajaran siswa merupakan pembentukan lingkungan belajar
yang dapat membantu siswa untuk membangun konsep-konsep atau prinsip-prinsip
siswa berdasarkan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi.
Aplikasi
teori belajar kogitif dalam pembelajaran adalah sebagai berikut[32]:
a.
Guru harus memahami bahwa siswa
bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya.
b.
Guru menyusun materi dengan menggunakan
pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks.
c.
Guru menciptakan pembelajaran yang
bermakna.
d.
Guru memperhatikan perbedaan
individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
Piaget
menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan, yaitu sebagai berikut:
a.
Memusatkan perhatian kepada cra
berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar kepada hasilnya.
b.
Mengutamakan peran siswa dalam
berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar.
c.
Memaklumi akan adanya perbedaan individu
dalam hal kemajuan perkembangan.
d.
Mengutamakan peran siswa untuk
saling berinteraksi.
7.
Kelebihan dan Kekurangan Teori
Belajar Kognitivistik
a.
Kelebihan
1)
Menjadikan siswa lebih kreatif dan
mandiri
2)
Membantu siswa memahami bahan
belajar secara lebih mudah.
3)
Tujuan adalah melatih pembelajar
untuk melakukan sebuah tugas dengan cara yang sama dengan memampukan
konsistensi.
4)
Menjalankan kerutinan yang pasti
untuk menghindari masalah.[33]
b.
Kekurangan
1) Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan\
1) Teori tidak menyeluruh untuk semua tingkat pendidikan\
2)
Sulit dipraktikkan, khususnya di
tingkat lanjut.
3)
Pembelajar mempelajari sebuah cara
menyelesaikan sebuah tugas, tapi ia mungkin tidak menjadi cara terbaik, atau
disesuaikan dengan pembelajar tersebut atau situasinya.[34]
Contoh pembelajaran yang cocok menerapkan teori kognitif antara lain pada
pelajaran bahasa seperti mengarang, menganalisis isi buku, matematika, fisika,
kimia atau biologi: yaitu dengan metode belajar yang berbasis masalah (studi
kasus), eksperimen, IPS berupa observasi, wawancara, dan membuat laporannya.
Kelas tidak didominasi oleh guru yang berceramah tetapi penyediaan modul,
tugas, praktikum, sarana, audio visual, ketersediaan buku-buku di perpustakaan,
akses internet, diskusi, presentasi dan evaluasi dari teman serta guru.
.
C.
KESIMPULAN
1.
Belajar menurut pikologi Gestalt
adalah. Pertama, dalam belajar faktor pemahaman atau pengertian (insight)
adalah faktor penting, dengan belajar dapat memahami / mengerti hubungan antara
pengetahuan dan pengalaman. Kedua, dalam
belajar pribadi atau organisme memegang peranan yang paling sentral. Karena
tidak hanya secara reaktif-mekanistis saja, namun tetap dilakukan dengan sadar,
bermotif dan bertujuan.
2.
Proses belajar menurut Piaget terjadi
dari tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbang)
disebutkan 2 tahapan lagi yakni Skema dan Adaptasi. Dia berpendapat bahwa
proses belajar harus disesuaikan dengan tahapan perkembangan kognitif yang
dilalui siswa.
3.
Proses belajar menurut Vigotsky
terjadi dalam wilayah Zone Proximal Development (ZPD), yakni wilayah antara apa
yang diketahui dan apa yang belum diketahui. Vigotsky mendefinisikannya untuk
tugas-tugas yang sulit dikuasai sendiri oleh siswa, tetapi dapat dikuasai
dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa atau siswa yang lebih terampil. Dia lebih
menekankan peran orang dewasa dalam memimpin perkembangan, yaitu bukan hanya
mencocokkan lingkungan pembelajaran melainkan juga membuat lingkungan dimana
para peserta didik dengan bantuan orang lain disekitarnya dapat memperluas dan
meningkatkan pemahaman mereka saat itu.
4.
Gardner membagi kecerdasaran manusia
menjadi 8 dan ada 2 tambahan lagi sehingga menjadi 10 kecerdasan, yakni :Kecerdasan
Bahasa (Verbal Linguistic Intelligences), Kecerdasan Matematis (Logical
Mathematical Intelligence), Kecerdasan ruang (Visual-Spatial Intelligence), Kecerdasan
Kinestetik/Gerak Fisik (Kinesthetic Intelligence), Kecerdasan Musik (Musical
Intelligence), Kecerdasan Hubungan Sosial (Interpersonal Intelligence), Kecerdasan
Keruhanian (Intrapersonal Intelligence, Kecerdasan Naturalis, Kecerdasan
Spiritual, Kecerdasan Eksistensial (Existensialist Intelligence)
5.
Kegiatan memproses informasi itu
meliputi mengumpulkan dan dan menghadirkan informasi (encording),
menyimpan informasi (storage), mendapatkan informasi, dan menggali
informasi kembali pada saat dibutuhkan (retrival). Information
processing adalah sebuah pendekatan dalam belajar yang mengutamakan
berfungsinya memory.
6.
Aplikasi teori belajar kogitif dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut:
-
Guru harus memahami bahwa siswa
bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya.
-
Guru menyusun materi dengan
menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks.
-
Guru menciptakan pembelajaran yang
bermakna.
-
Guru memperhatikan perbedaan
individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Baharuddin, 2010, Pendidikan & Psikologi Perkembangan,
Yogyakarta:Ar-Ruzz Media,
____________ & Esa Nur Wahyuni, 2007, Teori Belajar dan
Pembelajaran, Yogyakarta:Ar Ruzz Media
Cece Wijaya, 1995, Pendidikan
Remedial, Bandung : Rosdakarya
Djaali, H. 2007, Psikologi
Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara
Mark K. Smith, dkk, 2009, Teori Pembelajaran dan Pengajaran, Yogyakarta:Mirza
M. Dimyati Mahmud, 2009, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan
Terapan, Yogyakarta:BPFE
Mohammad Thobroni & Arif Mustofa,2011, Belajar dan
Pembelajaran Pengembangan Wacana dan Praktik Pembelajaran Dalam Pembangunan
Nasional, Jogjakarta:Ar-Ruzz Media.
Muhibbin, Syah, 1999, Psikologi Belajar, Jakarta:Logos
Ngalim Purwanto, 2007, Psikologi Pendidikan, Bandung :
Rosdakarya
Noeng Muhadjir, 2000, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Yogyakarta:Rake
Sarasin
Oemar Hamalik, 2007, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta:Bumi
Aksara.
_____________, 2007, Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi
Aksara
Rita Eka Izzaty, dkk., 2008,Perkembangan Peserta Didik, Yogyakarta:UNY
Press
Sugihartono, dkk, 2007, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta:
UNY Press
Suparno, 2004, Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di
Sekolah: Cara menerapkan Teori Multiple Intelligences Howard Gardner.
Yogyakarta:Kanisius.
Suryabrata, 1987, Psikologi Pendidikan, Bandung:Rajawali
PressSyamsul Bachri Thalib, 2010, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis
Empiris Aplikatif, Jakarta:Kencana,
Yatim Riyanto, 2010, Paradigma Baru pembelajaran, Jakarta:Kencana
[1] Yatim Riyanto,
Paradigma Baru pembelajaran, (Jakarta:Kencana, 2010), h. 9
[2] Muhibbin Syah,
Psikologi Belajar, (Jakarta:Logos, 1999), h. 93
[3]
Ibid, Yatim
Riyanto, h. 10
[4] Oemar Hamalik,
Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta:Bumi Aksara, 2007), h. 46
[5] Ngalim
Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 2007), h. 100
[6] Oemar Hamalik,
Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), cet. VI, h. 41
[7]
Loc.Cit, Yatim
Riyanto, h. 10
[8]Sumadi
Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Bandung:Rajawali Press, 1987), h.298
[9] Baharuddin, Pendidikan
& Psikologi Perkembangan, Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2010), h172
[10] Dalam
Baharudin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan Pembelajaran,
(Yogyakarta: Arruz Media, 2007)h. 93
[12] Mohammad
Thobroni & Arif Mustofa, Belajar dan Pembelajaran Pengembangan Wacana
dan Praktik Pembelajaran Dalam Pembangunan Nasional, (Jogjakarta:Ar-Ruzz
Media, 2011), h. 95
[13] Rita Eka
Izzaty, dkk., Perkembangan Peserta Didik, (Yogyakarta:UNY Press, 2008),
h. 34
[14] Syamsul Bachri
Thalib, Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif,
(Jakarta:Kencana,2010), h. 93
[15] Ibid,
Rita Eka Izzati, dkk, Perkembangan Peserta Didik, h. 37
[16]Noeng Muhadjir,
Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta:Rake Sarasin, 2000),
cet V, h. 54
[17] Ibid,
Syamsul Bachri Thalib, h. 96
[18] Ibid,
Mohammad Thobroni & Arif Mustofa, h. 238
[19] Ibid, Baharudin
dan Esa Nur Wahyuni, h. 145
[20] Suparno, Teori
Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah: Cara menerapkan Teori Multiple
Intelligences Howard Gardner. (Yogyakarta:Kanisius, 2004).
[21] Cece Wijaya, Pendidikan
Remedial, (Bandung : RosdaKArya, 1995), h. 139
[22] Ibid,
h. Baharudin dan Esa Nur Wahyuni 147
[23] Ibid,
Mohammad Thobroni & Arif Mustofa, h. 240
[24] Djaali,H.
Psikologi Pendidikan, (Jakarta:Bumi Aksara, 2007), h. 74
[25] Ibid,
Yatim Riyanto, h. 243
[26] Op.Cit.,Baharudin
dan Esa Nur Wahyuni, h. 153
[27] Ibid.,Baharudin
dan Esa Nur Wahyuni, h. 99
[28] Op.Cit,
h. 103
[29] Ibid, Baharudin
dan Esa Nur Wahyuni, h. 106
[30] M. Dimyati
Mahmud, Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Terapan, (Yogyakarta:BPFE,
2009), h. 211
[31] Sugihartono,
dkk,.Psikologi Pendidikan (Yogyakarta: UNY Press, 2007), h. 114
[33] Mark K. Smith
dkk, Teori Pembelajaran dan Pengajaran, (Yogyakarta:Mirza Media Pustaka,
2007)h.107
[34] Loc.Cit,
Mark K. Smith dkk.107
Casino Delivers First Bitcoin Bonus To NJ Players | DrMCD
ReplyDeleteCasino Delivers First 삼척 출장마사지 Bitcoin Bonus To NJ Players · 의왕 출장안마 1. Mohegan Sun Pocono · 2. Isle of Capri 영주 출장샵 Casino 강원도 출장안마 · 3. Golden Nugget Casino 동해 출장마사지 · 4. Tropicana Resort Casino